Senin, 20 Juni 2011

bagiamana pemilu yang dikatakan free and fair??

A. Latar Belakang Sistem pemilu berkaitan erat dengan tipe perwalian dan sifat demokrasi yang dijadikan dasar sistem pemilu. Pilihan sistem pemilu merupakan sebuah keputusan yang fundamental mengenai bagaimana politik akan dirancang. Pembangunan demokrasi tidak berlangsung serta merta dan sekaligus, tetapi melalui sebuah proses yang cukup panjang. Terutama bagi sebuah Negara bangsa seperti Indonesia yang saat ini sedang mengalami masa transisi dari sistem pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Dalam sebuah Negara demokrasi, pemilu merupakan suatu wujud nyata dalam pelaksanaan demokrasi. Disamping unsur pemilihan umum, di Negara demokrasi juga harus ada unsur pertanggung jawaban kekuasaan. Oleh karena itu jika pemilihan dapat dipandang sebagai akhir paradigma demokrasi. Salah satu efek dari proses demokratisasi dan pemenuhan hak asazi manusia adalah menguatnya pengawasan dan perimbangan dalam kehidupan sosial politik. Namun sayangnya selama ini administrasi pemilu seringkali dianggap tidak terlalu penting. Padahal proses administrasi pemilu yang adil dan efektif merupakan kondisi yang diperlukan dalam menghasilkan pemilu yang bebas dan adil ( Rose, 2000:6 ). Administrasi pemilu tersebut dapat diartikan sebagai pengorganisasian proses pemungutan suara dan perhitungan suara oleh pejabat dari institusi yang berwenang. Karena sifatnya yang sangat teknis, proses administrasi pemilu paling mudah di intervensi, terutama oleh penguasa yang ingin tetap mempertahankan kekuasaan mereka. Sejatinya ide dasar demokrasi sangatlah mulia. Melalui sistem demokrasi hak-hak kedaulatan warga Negara ingin dilindungi, aspirasi mereka disalurkan, dan melalui mekanisme pemilihan umum hendak dijaring wakil-wakil rakyat terbaik untuk tampil ke panggung kekuasaan. B. Perumusan Masalah Mencoba menjelaskan bagaimana pemilu yang dikatakan free and fair? bagaimana sistem proporsional dengan daftar terbuka dan jumlah parpol yang sangat banyak mempengaruhi proses penyelenggaraan pemilu, bagaimana relasi kuasa antara penguasa dan parpol dalam proses penyelenggaraan pemilu yang free dan fair. C. Kerangka Teori a. Teori Electoral Engineering ( Pippa Norris) Hasil dari sebuah pemilu sangat dipengaruhi oleh faktor administrasi atau prosedur pendaftaran dan fasilitas untuk pemungutan suara. Banyak Negara yang telah mencoba dengan teknologi inovasi yang lebih baru dalam administrasi pemilu. Ini termasuk bagan pemungutan suara, apakah menggunakan pemungutan suara elektronik via internet dari rumah atau kantor, atau lebih sederhananya dengan menggunakan komunikasi baru dan teknologi informasi dalam bentuk polling stations dan sebagian lagi melalui kotak suara. Ada juga yang membuat tempat pemungutan suara menjadi sedikit lebih menarik, seperti meletakkannya di tempat pusat perbelanjaan, atau lebih dekat dengan rumah sakit serta dapat dilakukan walau kita sedang tidak libur bekerja. Pippa Norris menekankan dalam bukunya yang berjudul the electoral engineering, persoalan administrasi pemilu sering kali dikaitkan proses registrasi dari pemungutan suara serta sarana yang mendukung untuk menciptakan sebuah administrasi pemilu yang baik serta budaya tingkah laku masyarakat. Orang-orang yang ingin memperbaiki mutu dari administrasi pemilu seringkali fokus terhadap prosedur administrasi pemilu, pada dasar permasalahan proses registrasi dan pemungutan suara, disamping mengatur integritas dari proses pelaksanaan pemilu yang akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. Hal yang paling penting dalam melakukan sebuah pemilu yang free and fair menurut pippa Norris yaitu dengan menggabungkan hasil perolehan suara dengan sistem pemilu proporsional, dengan sebuah wilayah distrik yang kecil, sering dilakukan tapi termasuk jarang kontes nasional, dengan partai politik yang kompetitif, adanya pemilihan presiden. Selain itu sangat diperlukan yang namanya sebuah kebijakan publik dan desain pemilu, termasuk juga kondisi-kondisi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk tingkat pembangunan masyarakat, mobilisasi kelompok, serta tingkah laku dari masyarakat ( voting behavior ) yang sangat menentukan dalam mewujudkan pemilu yang adil. D. Pembahasan Banyak desain konstitiuonal yang relatif belum lama terbentuk, gerakan global untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis pada tahun 1980-an dan 1990-an mendorong untuk segera dicarinya suatu model pemerintahan perwakilan yang sesuai disertai evaluasi sistem pemilu. Proses ini di dorong oleh munculnya kesadaran yang meluas bahwa lembaga politik dapat membawa dampak yang signifikan terhadap sistem politik yang lebih luas, misalnya semakin disadarinya bahwa sistem pemilu dapat membantu merekayasa kerjasama dan akomodasi pada masyarakat yang terpecah. Desain sistem pemilu tersebut berkaitan dengan aspek administrative pemilu, misalnya TPS ( tempat pemungutan suara ), pendaftaran pemilih, pencalonan caleg, dll. Ada banyak sistem pemilu, dan cara yang paling mudah untuk mengamati suatu sistem pemilu yaitu dengan mengelompokkan mereka sesuai dengan tingkat efisiensi tersebut dalam mengkonversi perolehan suara nasional. Indonesia sebagai salah satu Negara yang menganut demokrasi memilih sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Hal ini sesuai dengan UU No 12 tahun 2003, dengan adanya UU tersebut kita telah sah mengadopsi sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem proporsional terbuka merujuk pada formula pembagian kursi atau penentuan calon terpilih, yaitu setiap partai politik peserta pemilu mendapatkan kursi proporsional dengan jumlah suara yang sah yang diperolehnya. Penerapan formula proporsional dimulai dengan menghitung Bilangan Pembagi Pemilih ( BPP ), yaitu jumlah keseluruhan suara sah yang diperoleh oleh partai politik peserta pemilu pada suatu daerah pemilihan dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan pada daerah pemilihan tersebut. Adapun kelebihan sistem proporsional terbuka yaitu lebih representative, memberikan peluang bagi orang yang disegani untuk bisa duduk di DPR, selain itu partai tetaplah yang menjadi penentu, menentukan seseorang menjadi kandidat atau tidak. Namun sistem proporsional terbuka diakomodasi secara formal, tetapi pada akhirnya “diakali” kembali oleh partai-partai besar sehingga pada prakteknya yang berlangsung adalah sistem yang lama. Pilihan atas sebuah sistem pemilu memiliki cakupan yang luas dan pada akhirnya tergantung tidak hanya pada kapasitas logistik nasional untuk menyelenggarakan pemilu tetapi juga mengenai dana yang dikeluarkan. Sistem proporsional merupakan sistem pemilu yang paling murah untuk dikelola, sebab sistem tersebut hanya menggunakan satu daerah pemilihan nasional yang tidak membutuhkan pembagian daerah pemilihan, atau menggunakan distrik wakil majemuk yang sangat luas yang sesuai dengan batas-batas propinsi yang ada. Seperti yang dikatakan Norris bahwa untuk menghasilkan pemilu yang free and fair sangat lah baik jika menggunakan sistem pemilu proporsional. Dalam sebuah penyelenggaraan pemilu hal yang paling penting adalah bagaimana agar pelaksanaan pemilu tersebut dapat berjalan secara adil, dan hal ini berkaitan erat dengan peran dari KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara, sehingga KPU benar-benar dapat dihindarkan dari intervensi ataupun kontrol dari pemerintah yang berkuasa. Maka dibuatlah perubahan UU Pemilu yang menghasilkan anggota KPU yang independen di tahun 2001. Hal yang senada juga dilakukan dengan pemilu 2004, dimana para anggotanya di rekrut berdasarkan fit and proper tes. Sehingga pemilu 2004 sangat berbeda dengan pemilu 2009, dimana dalam pemilu 2004 mekanisme pengaturan diatur dengan baik, hal ini dapat dilihat dari pelanggaran dan tindak pidana yang terjadi. Pemilu 2004 juga memiliki ketergantungan yang sangat besar dari peran para penegak hukum, seperti polisi, kejaksaan, dan KPU yang memproses tindak pelanggaran pemilu. Tidak dapat dipungkiri suksesnya Pemilu sangat bergantung pada kinerja Badan Penyelenggara/Pelaksana Pemilu. Faktor utama yang mendorong pentingnya pemantauan penyelenggaraan pemilu, khususnya biaya pemilu adalah tidak adanya mekanisme pengawasan eksternal terhadap badan penyelenggara pemilu. Hal ini bisa dilihat dari mekanisme bahwa pengawasan terhadap seluruh pelaksanaan biaya pemilu dilakukan oleh Sekjen KPU. Dalam rangka mengantisipasi pelanggaran kode etik KPU dibentuklah Dewan Kehormatan ( DK ) yang berasal dari anggota KPU itu sendiri. Panwaslu sendiri berfungsi untuk mengawasi setiap tahapan pemilu, baik terhadap peserta pemilu maupun terhadap penyelenggara pemilu ( KPU ). Namun Badan Pengawas Pemilu dan jajarannya tidak mampu memanfaatkan secara maksimal keterbatasan wewenang yang dimilikinya. Dalam berbagai kesempatan, mereka justru meminta masyarakat untuk memaklumi bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya diantara kepandiran penyelenggara dan kecongkakan penegak hukum serta kenaifan peserta pemilu. Padahal dalam mewujudkan pemilu yang adil lembaga-lembaga tersebut harus saling bekerja sama dan bekerja demi kepentingan rakyat, bukan berdasarkan kepentingan kelompok. Tanpa political will dari rezim yang berkuasa maka yang biasa terjadi adalah mempertahankan kekuasaan seperti yang dikatakan Lord Acton bahwa power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely. Skema organisasi KPU pemilu 2004 tingkat pusat Ketua/wakil/anggota KPU : 9 anggota Sekjen/wakil sekjen KPU Biro SDM Biro perencanaan Biro umum Biro teknis Biro keuangan Biro datin Biro hukum Biro logistik Biro humas Biro pengawas Hasil restrukturisasi skema organisasi KPU Pemilu 2009 tingkat pusat Anggota KPU 70rang Sekjen/wasekjen KPU Biro SDM Biro perencanaan Biro umum Biro teknis Biro keuangan Biro hukum Biro logistik pengawasan Berdasarkan UU No 12 tahun 2003 semua keputusan prinsip penyelenggaraan pemilu diputuskan dalam pleno KPU, walaupun KPU di awal masa kerjanya sudah membuat Renstra 2001-2006. Biro-biro yang ada di KPU tersebut memiliki kewenangan yang berbeda-beda. Biro hukum menjadi sangat kuat posisinya untuk melindungi KPU dari aturan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam membahas tentang penyelenggaraan pemilu yang free and fair tidak dapat kita hindari mengenai persoalan administrasi pemilu. Selama ini masalah administrasi pemilu seringkali dianggap kurang penting, padahal proses pemilu yang adil dan efektif merupakan kondisi yang diperlukan untuk menghasilkan pemilu yang bebas dan adil ( Rose : 2000:6 ). Pendaftaran pemilih merupakan bagian yang paling kompleks, kontroversial dan seringkali dianggap sebagai tahapan yang paling kurang kesuksesannya. Pemilu di Zambia tahun 1996 misalnya dimana kurang dari setengah populasi yang memenuhi syarat untuk didaftar meskipun ada usaha-usaha pendaftaran secara besar-besaran. Selain itu desain surat suara sebisa mungkin dibuat agar lebih mudah dimengerti oleh pemilih, hal ini menghindari jumlah suara yang rusak atau tidak sah, sebab menggunakan symbol-simbol dalam pemilihan caleg. Intervensi administrasi pemilu seringkali dilakukan dalam bentuk constitutional engineering ( rekayasa konstitusi ), penguasa dan lembaga penyelenggara pemilu. Proses intervensi administrasi pemilu pada umumnya tidak segera disadari, bukan hanya karena factor ketidakpedulian masyarakat tapi juga karena proses tersebut dilakukan secara halus dan dilindungi oleh hokum. Sehingga proses yang berjalan terlihat dimana demokratisasi berjalan baik padahal dibalik itu telah dilakukan rekayasa secara tak tampak dari para elit yang berkuasa. Adapun salah satu sumber dari ketidakberesan dalam administrasi pemilu yaitu berasal dari persoalan DPT ( daftar pemilih tetap ). Bila kita lihat pada pemilu 2004 data pemilih dibuat dengan menggunakan data pencacahan dari pintu ke pintu oleh BPS lalu diserahkan ke KPU untuk diproses lebih lanjut. Namun ketika pemilu 2009 cara seperti ini tidak digunakan lagi, dan lebih memilih penggunaan SIAK ( sistem informasi dan administrasi kependudukan ) yang diolah menjadi DP4 ( daftar potensial peserta pemilu ) dan diserahkan ke KPU. Hal ini tentunya tidak se akurat yang dilakukan di pemilu 2004, dimana proses pengambilan data tersebut tidak dilakukan dari rumah ke rumah seperti yang dilakukan oleh BPS, sehingga sangat rentan akan terjadinya manipulasi data. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kerumitan dalam mengurus DPT yaitu pertama, KPU mengalami kesulitan untuk mengecek data pemilih, biro data dan informasi KPU 2004 telah dihapus dari struktur organisasi KPU 2009. Kedua, ketika KPU mencoba menyusun database dengan cara menggabungkan kembali semua data pemilih tiap kecamatan di Indonesia dalam file exel, fasilitas excel tidak mampu menampung data pemilih sekitar 154.741.787 jiwa dengan 5 variabel ( nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat ). Dan Jika ditinjau dari sudut mekanisme pengawasan, pemilu 2004 jauh lebih baik daripada pemilu 2009. Pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu 2004 sudah dibagi kedalam 3 bagian : a. Tindak pidana pemilu b. Pelanggaran administrasi c. Sengketa Dilihat dari kacamata nasional, begitu banyak masalah dalam pemilu 2009 kemarin, termasuk pelanggaran dalam pemilu .Di sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan Jumlah pelanggaran administrasi dan pidana di tahun 2009 yang telah masuk ke Panwaslu Provinsi, Kabupaten, atau kecamatan setanah air sebanyak 15.341 kasus. Sedangkan di tahun 2004 jumlah pelanggaran hanya 8.946 kasus pelanggaran. Meskipun jumlah kasusnya meningkat, penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu 2009 lebih baik bila dibandingkan dengan pemilu 2004. Pada pemilu 2009, dari total 15.431 pelanggaran administrasi yang diterima panwaslu, yang diselesaikan Panwaslu, yang diselesaikan sebesar 49%. Bandingkan dengan pemilu 2004 dari total 8.946 pelanggaran, hanya 32% yang diselesaikan KPU. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya efektifitas penegakan hukum pemilu, setidak nya ada 4 faktor pidana, yaitu (1) koordinasi pengawas pemilu dengan kepolisian yang tidak berjalan dengan baik. (2) Kepolisian dan kejaksaan menilai bukti-bukti tidak cukup, (3) adanya keputusan diskresi dari polisi/jaksa untuk tidak menindaklanjuti kasus pelanggaran dengan beberapa alasan, (4) pembiaran kasus tanpa alasan yang jelas. Larry Diamond pernah mengatakan bahwa konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar yaitu (1) kinerja atau performance ekonomi dan politik dari rezim demokratis, (2) institusionalisasi politik ( penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum ), (3) restukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya sipil society yang otonom di lain pihak. Beliau juga mengatakan bahwa konsolidasi demokrasi tidak hanya cukup dengan terselenggaranya pemilu secara prosedural, melainkan juga melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai dan parlemen yang dihasilkan. Dalam hal penguatan birokrasi sangat diperlukan akuntabilitas dan kontrol terhadap birokrasi, dalam hal ini KPU. Ada beberapa model kontrol politik terhadap birokrat yang dapat dilakukan melalui mekanisme tanggung jawab politis ( bertanggung jawab kepada parlemen dan presiden ), politisasi dari the civil servise ( political appointments ) dan dapat membangun counter-bereaucracy ( political adviser ). Institusi politik membuat aturan main dalam pelaksanaan demokrasi, dan sistem pemilu seringkali dianggap sebagai institusi politik yang paling mudah dimanipulasi, baik untuk hal-hal yang baik maupun hal-hal yang tidak baik. Hal ini didasarkan pada mengkonversi perolehan suara pemilu menjadi kursi di parlemen, pemilihan sistem pemilu secara efektif dapat menentukan siapa yang dipilih dan partai mana yang berkuasa. Sistem pemilihan bertindak sebagai wadah penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji-janji wakilnya yang telah mereka pilih ( Ben Reilly : 1999, hal 25 ). Diterapkannya sistem proporsional terbuka pada pemilu 2004 dan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, merupakan sejarah baru bagi Indonesia yang sedang menuju konsolidasi demokrasi dan hal ini tentunya menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat Indonesia bahkan di mata internasional. Perubahan mendasar dilakukan dalam proses rekruitmen anggota KPU sebagai penyelenggara Pemilu. KPU tidak lagi dikooptasi oleh pemerintah dan direpresentasikan oleh Parpol peserta pemilu, seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya. Sesuai dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, KPU bersifat tetap, independen, dan mandiri. Anggota KPU dipilih oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. UU No 12 tahun 2003 tersebut juga sangat menentang adanya penggabungan sisa suara. Beberapa hal yang mendasari pentingnya melakukan pemantauan penyelenggaraan pemilu : a. KPU adalah institusi penyelenggara pemilu yang merupakan salah satu instrument penentu struktur Negara ini ke depan. b. Pemilu 2004 jauh lebih rumit dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, karena pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka dengan cara melakukan pemilihan secara langsung atas anggota legislative, DPD serta Presiden dan Wakil presiden. Dasar Transparansi Biaya Pemilu Dalam UU pemilu Legislatif, dinyatakan sumber anggaran penyelenggaraan Pemilu berasal dari APBN dan APBD. Dari sisi landasan hukum, pengelolaan anggaran secara transparan sebenarnya telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengingat biaya pemilu bersumber dari Negara, maka dalam pengelolaanya juga harus tunduk pada prinsip-prinsip transparansi sebagai sebuah salah satu prinsip anggaran Negara. Berikut peraturan yang secara tegas mengatur pengelolaan anggaran dilakukan secara transparan : a. Undang-Undang Dasar ( UUD ) 1945 pasal 23 ayat (1) : pengelolaan keuangan Negara dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Pasal 3 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara : Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. c. Pasal 4 PP No 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah ; pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan d. Pasal 3 Keputusan Presiden No 80/2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah : pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip : efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. e. Keputusan KPU No 33 tentang Kode Etik KPU : KPU adalah penyelenggara pemilu yang mandiri, tetap, independen, non partisipan, tidak memihak, tranparan, dan professional. Dalam menyikapi pelaksanaan pemilu 2004 adalah dengan melakukan refleksi secara mendalam sebagai dasar pijakan untuk melihat kelemahan-kelemahan yang muncul dalam pemilu kemarin, refleksi ini juga perlu bagi pelaksanaan pemilu berikutnya. Secara prosedural pemilu 2004 cukup berhasil dalam membangun iklim demokratis. Sebagai sebuah prosedur untuk membangun demokrasi seperti yang dilakukan oleh O’Donnel dan Schmitter ( 1986 ) bahwa pelaksanaan pemilu harus bisa berlangsung secara rahasia, bergulir secara regular, adanya kompetisi yang fair antar partai peserta pemilu dan memungkinkan rakyat untuk meminta pertanggungjawaban terhadap kekuasaan. Jika mengacu pada apa yang dikatakan O’Donnel maka pemilu 2004 mampu memenuhi kategori tersebut. Walaupun harus dilihat juga bahwa ada fakta yang mewarnai situai pemilu 2004 yang cukup pelik, misalnya kurang optimalnya sosialisasi mekanisme pemungutan suara kepada pemilih yang mengakibatkan munculnya suara tidak sah sebesar 6,83% , belum lagi tertundanya pengiriman logistik di beberapa wilayah yang mengakibatkan pelaksanaan pemungutan suara tidak berjalan secara serentak nasional. Pada pemilu 2004 sebagian besar pengadaan barang-barang kebutuhan mutlak dilakukan di tingkat KPU seperti, kotak suara, bilik suara, IT KPU, surat suara, tinta, amplop dan segel. Dari pemilu ke pemilu tugas dan wewenang pengawas pemilu hampir sama, untuk pemilu 2009 lembaga pengawas pemilu sudah diperkuat posisinya. Pertama bersama KPU dan jajaran penyelenggara pemilu, eksistensi pengawas pemilu diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU No 22/2007. Hal ini berbeda dari pemilu-pemilu yang lalu, dimana pengaturan eksistensi penyelenggara dan pengawas pemilu hanya diatur dalam UU pemilu legislative. Kedua, dari segi administrasi dan keuangan, lembaga pengawas pemilu kini lebih mandiri, bukan bagian dari KPU lagi melainkan bagian dari Departemen Dalam Negeri. Inti dari sebuah pemilu yang fair and free adalah harus mampu menyesuaikan diri dengan jenis-jenis perbedaan pengaduan yang tak bisa di hindari. Prinsip dari tanggung jawab yang efektif dan hak setiap orang untuk memperbaiki segala penyimpangan yang terjadi dengan cara pengaduan dan perubahan-perubahan dalam pemilu harus ditentukan atau di urus oleh kekuasaan yang adil dan independen seperti komisi pemilu ( dalam konteks Indonesia KPU ). KESIMPULAN Pemilu 2004 merupakan sebuah momentum yang paling penting dalam mewujudkan sebuah Negara yang demokratis di Indonesia. Hal ini tidak dapat dihindari dari peran KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dalam mewujudkan pemilihan yang adil. Sistem pemilu juga berperan penting dalam hal ini, dimana Indonesia telah menganut sistem proporsional terbuka di pemilu 2004. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Norris, bahwa untuk menciptakan sebuah pemilu yang free and fair penggunaan sistem proporsional adalah cara terbaik. Pemilu yang free and fair merupakan langkah lanjut dalam mewujudkan proses demokrasi dalam sebuah Negara, termasuk Indonesia. Di dalam menciptakan pemilu yang adil, sistem administrasi pemilu merupakan salah satu poin penting, dimana di dalam

OTONOMI DAERAH DI ERA DEMOKRASI TERPIMPIN

A. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah diawali dengan dikeluarkannya UU No 1 tahun 1945. Tetapi UU yang dibuat pada masa awal kemerdekaan ini tidak bisa dijalankan dengan baik, karena kondisi pemerintahan yang abnormal. Sesudah itu, silih berganti sejumlah UU pemerintahan daerah diterbitkan, mulai dari UU No 22 tahun 1948 sampai UU No 18 tahun 1965 (demokrasi terpimpin). Namun karena terjadi krisis politik, UU otonomi daerah tersebut sulit dan bahkan tidak bisa dilaksanakan. Dalam makalah ini akan dijelaskan undang undang otonomi daerah yakni UU No 18 tahun 1965, yaitu pada era demokrasi terpimpin. UU No 18 tahun 1965 tentang pengaturan desentralisasi administratif relatif tidak memiliki perbedaan dengan UU No 1 tahun 1957. Prinsip otonomi riil masih di adopsi, walau kini diberi embel-embel otonomi riil seluas-luasnya. Urusan-urusan pemerintahan pusat banyak dialihkan menjadi urusan pemerintahan daerah, demikian pula halnya dengan tugas pembantuan yang makin digencarkan. Sedangkan tugas dekonsentrasi menjadi komplemen yang vital dari desentralisasi dan tugas pembantuan itu. Jadi kebijakan otonomi riil yang seluas-luasnya dibarengi oleh dukungan desentralisasi finansial yang lumayan, tetapi tidak disertai dengan desentralissi politik yang memadai dan adanya pemusatan kekuasaan di tangan kepala daerah, bisa membangkrutkan pelaksanaan otonomi daerah. Asaz demokrasi terpimpin dilaksanakan secara konsekuen dalam lingkungan pemerintah daerah. Ketentuan UU No 1/1957 mengenai susunan pemerintah daerah diubah dengan Penpres 1959/6. Sehingga membuat partai-parta besar menentang PenPres tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, tidak demokratis, mengebiri kedaulatan rakyat, dan merupakan langkah mundur dalam otonomi. Namun hal ini dianggap wajar dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam menciptakan keseimbangan pusat dan daerah dengan menhgapuskan dualism dalam pimpinan. Penyusunan UU pemerintahan daerah yang baru dipicu oleh adanya keragaman pengaturan daerah setelah pengakuan kedaulatan 17 agustus 1950. Sebagai konsekuensi dari pembentukan NKRI adalah digantinya UUD 1945 dengan UUDS 1950. Implikasi penggantian konstitusi itu adalah perlu diperbaharuinya UU Pemerintahan Daerah yang ada. Secara resmi desentralisasi diperkenalkan dalam pemerintahan sejak 1903 melalui Undang Undang Desentralisasi. Tujuannya adalah dimungkinkan adanya pembentukan daerah-daerah otonom diseluruh wilayah Hindia Belanda. Hal ini dipandang perlu karena sistem sentralisasi yang selama ini dipergunakan ternyata tidak mampu lagi melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat lokal. Berdasarkan sistem sentralisasi, pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pusat. Sistem pemerintahan desentralisasi sebenarnya telah digagas oleh para pendiri negara dengan menempatkan satu pasal dalam UUD 1945 ( pasal 18 ). Implementasi pasal tersebut selalu menimbulkan persoalan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Pergulatan mencari makna kebangsaan yang dipandang sebagai identitas sekunder, selalu menghadapi persoalan identitas primer berupa kuatnya solidaritas etnik, agama, adat dan bahasa serta tradisi lokal. Faktor-faktor ini pula yang menyebabkan timbulnya pemberontakan kedaerahan selain faktor ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya ekonomi antara pusat dan daerah. Sejak tahun 1945 itu pula pemerintah pusat memandang pluralitas secara ambivalen. Di satu sisi mempromosikan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi negara, disisi lain menerapkan kebijakan sentralisasi karena kebhineka dilihat sebagai ancaman disintegrasi. Pemekaran daerah Indonesia adalah pembentukan wilayah administrative baru di tingkat propinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Setelah DPR hasil pemilihan umum dilantik, dibentuklah sebuah kabinet baru yangdipimpin oleh Ali Sastroamodjojo, Mohammad Roem, dan Idham Chalid pada tanggal 26 maret 1956. DPR pilihan rakyat itu tersusun dari 28 partai, diantaranya yang besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI ) dengan kekuatan suara yang tidak jauh berbeda. Dengan demikian, kabinet yang terbentuk itu merupakan kerja sama dari berbagai partai yang masing-masing mempunyai pendirian dan kepentingan sendiri. Sudah tentu dalam melakukan kerja sama itu masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan dan memperjuangkan keuntungan partainya sendiri. Akibatnya adalah banyak masalah negara yang pokok tidak dapat diselesaikan secara memuaskan. Sebagai akibatnya dalam masyarakat timbul perasaan tidak puas terhadap pemerintah. Terutama rasa tidak puas itu menyala besar dalam lingkungan angkatan darat. Beberapa perwira mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik dengan maksud untuk memperbaiki kedaan negara. Dalam bulan-bulan oktober- November 1956 sejumlah perwira angkatan darat di jawa barat merencanakan untuk menggulingkan pemerintah. Di sumatera tengah para anggota ex-Divisi Banteng membentuk Dewan Banteng dalam bulan November 1956 yag menuntut dilaksanakannya perbaikan-perbaikan di segala bidang. Dalam bulan desember 1956 Dewan ini mengoper pimpinan pemerintahan daerah dari Gubernur sumatera tengah. Dalam bulan desember 1956 panglima T.T.I ( sumatera utara ) mengoper pula pimpinan pemerintahan daerah dan menyatakan melepaskan hubungan dengan pemerintah pusat untuk sementara serta tidak mengakui kabinet Ali. Di sumatera selatan gubernur mengeluarkan suatu maklumat yang membatasi mengalirnya uang keluar dar daerah sumatera selatan karena dianggap merugikan pembangunan daerahnya. Dalam bulan maret 1957 penguasa militer T.T II mengoper pula kekuasaan sipil di sumatera selatan. Pada waktu yang bersamaan panglima T.T VII di Makassar mengumumkan suatu “piagam perjuangan semesta “. Di Jakarta suasana juga semakin hangat. Fraksi-fraksi pemerintah dalam DPR mulai menyerang kebijaksanaan kabinet. Karena tekanan-tekanan dari luar itu dan pengunduran beberapa menteri yang terjadi dalam bulan desember 1956 dan bulan januari 1957, akhirnya kabinet Ali meletakkan jabatannya pada tanggal 14 maret 1957. Untuk mencegah menguatnya daerahisme, provinsialisme, dan memperkuat kontrol pusat, maka dikeluarkanlah undang-undang No 1/1957. Dibawah undang-undang baru ini membuat adanya keseimbangan antara pusat dan daerah. Meskipun bukan produk DPR hasil pemilu 1955 secara penuh, hubungan pusat dan daerah lebih demokratis. Dalam konteks masa kini keberlanjutan dan perubahan wacana dan praktik otonomi daerah dibagi menjadi dua. Pertama fase eksperimen otonomi daerah seluas-luasnya tahun 1945-1958, dari UU No 1/1945 hingga UU No 1/1957, dan kedua fase resentralisasi tahun 1959-1973. Namun yang akan dibahas hanya fase demokrasi terpimpin yang ditandai transformasi struktur pemerintahan daerah. Partisipasi sosial politik dan prakarsa masyarakat daerah begitu luas diakomodasi. Sejak kemerdekaan sampai saat ini, proses desentralisasi dengan distribusi kekuasaan/kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah selalu bergerak dan berubah-berubah dari satu titik ke titik lain dengan bobot kekuasaan yang berpindah-pindah mengikuti perubahan rezim politik dalam memandang visi tentang kebangsaan. B. Rumusan Masalah Di era demokrasi terpimpin proses pelaksanaan otonomi daerah banyak diwarnai dengan konflik ketidakpuasan dari daerah terhadap pemerintah pusat, hal ini terjadi karena pada masa itu partai-partai politik besar yang berkuasa begitu mendominasi pemerintahan dan bekerja berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok mereka. Pergolakan-pergolakan di daerah yang menuntut kesataraan dengan pusat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah penuh dengan dilema. Maka dalam makalah ini adapun permasalahannya yaitu bagaimana sebenarnya sistem pelaksanaan otonomi daerah di era demokrasi terpimpin yang pernah dialami oleh Indonesia? Apa yang menyebabkan begitu banyak pergolakan yang terjadi dalam pelaksanaan otda tersebut? Bagaimana dengan implikasi UU No 18 tahun 1967? C. Landasan Teori Adapun landasan teori yang dipakai dalam menjelaskan tentang masalah ini yaitu : Berdasarkan teori politik lokal dari Dennis A Rondinelli and G Shabbir Chemma yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi terjadi hampir diseluruh negara yang memiliki perubahan konstan. Perubahan ini bisa terjadi secara cepat dan dramatis melalui interaksi sosial dan tekanan politik, dan hasilnya dapat kita temukan dalam proses pembangunan bangsa. Dimana pemerintah memainkan peraturan secara dominan. Hal yang paling penting dalam yaitu tentang kontrol pemerintah pusat. Perencanaan pusat dianggap sangat penting untuk menuntun dan mengontrol ekonomi masyarakat serta menyatukan bangsa. Sehingga otonomi daerah tersebut daoat dipahami sebagai pelimpaan wewenang atau otoritas dalam perencanaan, membuat keputusan, atau urusan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, pemerintah lokal, atau organisasi non pemerintah ”. Rondinelli telah mengidentifikasi beberapa pendapat yang telah dibuat untuk rencana pembangunan desentralisasi dan administrasi di negara dunia ketiga, yaitu : a. Desentralisasi berarti mengatasi keterbatasan pelayanan dan kontrol pusat melalui mendelegasikan kewajiban yang lebih besar untuk rencana pembangunan dan manajemen untuk pejabat yang bekerja diluar lapangan. b. Desentralisasi dapat memotong dalam jumlah besar birokrasi dan secara tinggi karakteristik struktur prosedur dari rencana pusat dan manajeman dalam pembangunan bangsa dimana hasilnya merupakan bagian dari konsentrasi lebih dari kekuasaan, kewenangan, dan sumber-sumber pusat dari pemerintah dalam modal nasional. c. Melalui fungsi desentralisasi dan pemindahan tugas pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pengetahuan dan kepekaan dari pejabat lokal terhadap permasalahan lokal, dan kebutuhan dapat dimajukan. d. Desentralisasi dapat lebih baik dari politik dan administrasi dari kebijakan pemerintah nasional kedalam area control dari modal nasional. e. Desentralisasi merepresentasikan berbagai jenis kepentingan, agama, etnik, kelompok suku dalam membuat keputusan pembangunan yang dapat memimpin untuk ekuitas dalam alokasi sumber pemerintahan dan investasi. • Mendefinisikan hubungan pusat dan daerah Bagi kalangan Marxian pada umumnya, tidak relevan untuk membedakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Mereka semua adalah ‘monolithic state aparatus’ yang ‘unity’, yang tidak perlu untuk dideferensiasikan menurut level geografis. Pemerintah daerah tidak lebih dari sekedar institusi yang memproduksi kehadiran negara di daerah bagi penciptaan kondisi yang memungkinkan proses akumulasi kapital berlangsung. Walaupun pandangan ini kemudian di revisi oleh kalangan Marxian berikutnya, namun tetap tidak terjadi perubahan substansial yang dilakukan. Kalangan liberalis cendrung mempunyai pandangan yang lebih positif dan optimistik. Pemerintahan di daerah yang dijalankan secara demokratis akan memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menuangkan kedaulatannya. Hal ini bukan hanya saja akan memperkuat proses demokrasi lokal, tetapi juga memberikan kontribusi bagi demokrasi dan integrasi nasional (smith 1985, 19-37). Sebagai pisau analisis dua pandangan tersebut memberikan kontribusi yang sama, yaitu kita tidak bisa membicarakan hubungan pusat dan daerah semata-mata sebagai hubungan pemerintah. Dalam upaya untuk menghubungkan demokrasi lokal dengan demokrasi nasional, (page &goldsmith 1987:3-8) menegaskan perlunya untuk membangun akses daerah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat pusat. Hal ini penting untuk dibangun karena hampir setiap hari kebijaksanaan-kebijaksanaan pusat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di daerah. Oleh sebab itu diperlukan pelembagaan media dan mekanisme pengaruh yang bisa digunakan oleh daerah D. Pembahasan dan Analisa Hubungan yang normal antara pusat dan daerah menjelang akhir 1956 mengalami kemunduran yang besar. Keutuhan negara republik Indonesia terancam dengan terjadinya pertentangan mula-mula antara penguasa-penguasa militer di daerah dengan pemerintah pusat. Pertentangan itu makin lama makin hebat dan meluas sehingga menjadi semacam pemberontakan daerah terhadap pusat. Pertikaian itu akhirnya hanya dapat diselesaikan dengan kekuatan senjata. Sebab-sebab pemberontakan daerah itu menyangkut banyak faktor yang satu sama lain saling bertalian. Mula-mula ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat dicetuskan oleh perwira-perwira angkatan darat karena persoalan-persoalan organisasi angkatan perang. Tetapi, ini kemudian bertautan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi di daerah-daerah luar jawa. Seperti yang dikatakan oleh Donald Fryer : langkah-langkah menentukan dalam rentetan hura-hara diantara bulan desember 1956 sampai bulan maret 1957 yang sangat mengurangi kekuasaan pemerintah Indonesia atas sebagian besar wilayah di luar jawa diambil oleh perwira senior angkatan darat. Tindakan mereka pada pokoknya bersumber pada ketidakpuasan mengenai organisasi di dalam angkatan darat serta hubungannya dengan pemerintah pusat. Sementara itu adalah jelas bahwa tindakan para komandan angkatan darat di sumatera, Kalimantan, dan Indonesia timur sesuai dengan aspirasi politik setempat dan didukung sepenuhnya oleh kepentingan ekonomi setempat. Kepentingan ekonomi menjadi salah satu pokok dalam tuntutan-tuntutan daerah terhadap pusat. Daerah-daerah di luar jawa menghasilkan bahan-bahan ekspor dan mendatangkan devisa umumnya mengeluh bahwa mereka perlu diperlakukan tidak adil. Keluhan-keluhan itu dapat dibedakan dalam 2 perumusan sebagai berikut : a. Dikatakan bahwa belanja pemerintah tidak secara layal dibagi dianatara jawa dengan sisa daerah-daerah lain di Indonesia, bahwa pulau-pulau di luar jawa, yang sebagai pengekspor member sumbangan yang penting bagi pendapatan negara melalui bea impor dan ekspor, berhak atas bagian yang lebih besar dari belanja negara bagi pekerjaan umum disbanding yang dapat dibenarkan berdasarkan jumlah penduduk. Khususnya, yang paling menyakitkan ialah bahwa jaringan jalan darat serta jalan kereta api di jawa dilawankan dengan sarana perhubungan yang sangat langka di pulau-pulau yang lain. b. Dikatakan bahwa valuta asing yang pada pokoknya dihasilkan oleh sumatera dibagikan secara tidak layal bahwa dalam kebijakan pengawasan impornya serta pembagiannya mengenai lisensi impor, pemerintah pusat melakukan diskriminasi secara tidak adil terhadap pulau-pulau diluar jawa. Dikatakan bahwa karena diskriminasi di masa yang lampau inilah maka daerah-daerah seharusnya berhak untuk menguasai sebagian dari mata uang asing yang mereka hasilkan. Berdasarkan berbagai sumber dapat saya rangkum beberapa karegori perbedaan berdasarkan nilai ekspor dalam bentuk angka-angka perbandingan untuk masa januari sampai September 1956 yang menunjukkan ketidakadilan itu. Angka-angka itu diperoleh dari sumber-sumber resmi seperti kantor pusat statistik dan majelis industri Indonesia adalah sebagai berikut : Daerah Nilai ekspor Jatah impor Jawa Sumatera Daerah-daerah lain 1.214 juta (16,7%) 5.104juta (71%) 890 juta 75,2% 20,8% Jadi sumatera yang menghasilkan 71 % devisa hanya kebagian 20,8 % dari barang-barang yang di impor, sedang jawa yang hanya menyumbang 16,7 % devisa menikmati 75,2 % dari barang-barang yang didatangkan dari luar negeri. Untuk membendung mengalirnya penghasilan daerah ke pusat, daerah-daerah di luar jawa menjalankan perdagangan langsung ke luar negeri dengan mengabaikan peraturan-peraturan pusat. Bahan-bahan mentah ditukarkan dengan alat perlengkapan yang dibutuhkan oleh penguasa-penguasa militer dan sipil di daerah. Sebagai contoh misalnya daerah minahasa dikabarkan memiliki suatu armada kendaraan jeep untuk keperluan pemerintah daerahnya yang diperoleh dari barter. Daerah-daerah merasa perlu untu menahan mengalirnya uang ke pusat karena ingin membangun daerahnya. Jadi, pembangunan dan kemajuan daerah merupakan pula salah satu sebab pemberontakan daerah terhadap pemerintah di Jakarta. Hal ini dinyatakan juga oleh Kroef. ” alasan pokok mengapa keresahan terus berlanjut ialah terdapatnya perasaan yang tersebar luas di daerah bahwa Jakarta sebenarnya tidak tahu sedikitpun mengenai apa yang terjadi di propinsi-propinsi, dan bahwa semua tindakannya merupakan kompromi-kompromi yang setengah-setengah dan sekedar memenuhi kebutuhan sementara. Karena pemberontakan daerah menandakan sudah dewasanya kelompok-kelompok penting bersemangat wiraswasta yang mencerminkan gejolak hati yang dinamik untuk membangun daerah dan ingin sekali mempelopori pekerjaan menyusun kembali apa yang dapat disebut (berbeda dengan jawa yang ditinjau dari segi ekonomi tersusun secara berlapis-lapis serta berpenduduk terlampau padat) suatu “masyarakat perbatasan”. Haruslah digarisbawahi bahwa kekuasaan daerah yang semakin bertambah besar mencerminkan pertumbuhan tenaga-tenaga terpendam yang mengarah kepada pembangunan daerah, yang entah benar atau tidak, merasa tertekan oleh susunan pemerintah nasioanl yang terlampau memusat. Seperti yang dinyatakan diatas, hasrat untuk membangun daerah itu terkekang oleh susunan pemerintah pusat yang terlampau sentralistis. Padahal pusat sendiri tidak melakukan perbaikan-perbaikan di daerah-daerah luar jawa, sedang daerah-daerah itu tidak bisa bertindak sendiri secara leluasa karena harus minta izin terlebih dulu dari pusat. Selain tidak mempunyai wewenang, daerah juga tidak memiliki sumber-sumber keuangan sehingga misalnya untuk memperbaiki sebuah rakit penyeberangan saja diperlukan pengesahan dan anggaran dari pusat. Dengan demikian, ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah juga bersumber pada politik desentralisasi yang dijalankan pusat. Daerah-daerah mengajukan tuntutan-tuntutan mengenai penyerahan wewenang dan urusan pusat kepada daerah serta pengaturan hubungan keuangan. Hal ini mensinyalir ketidakpuasan daerah dapat disebut sebagai suatu proses terhadap sedikitnya keikutsertaan yang dimungkinkan bagi prakarsa daerah untuk membangun negara. Apa pun yang menjadi sumbernya, ada bidang-bidang ketidakpuasan tertentu yang dapat dicatat. Adanya penetapan hubungan-hubungan keuangan diantara tingkat-tingkat pemerintahan, serta perasaan yang terdapat di daerah-daerah bahwa terlampau sedikit kegiatan yang berarti yang dipercayakan kepada mereka. Gagasan tentang demokrasi terpimpin dan pelaksanaanya telah beberapa kali dibicarakan dalam kabinet Karya maupun Dewan Nasional. Pada tanggal 7 november 1958 kabinet mengadakan sidang khusus yang membahas secara mendalam tentang ide itu. Sebagai kesimpulannya kabinet menetepkan prinsip-prinsip pokok demokrasi terpimpin yang akan dilaksanakan dalam rangka memperlakukan kembali UUD 1945 dari RI Proklamasi. Kemudian oleh kabinet diadakan pertukaran pikiran dengan presiden sampai tiga kali, terakhir pada tanggal 26 januari 1959. Akhirnya pada tanggal 19 febuari 1959 kabinet Karya mengambil keputusan-keputusan mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembalinya ke UUD 1945. Maka kemudian dibentuklah UU No 18 Tahun 1965 yang disyahkan oleh sukarno. Komposisi keanggotannya adalah semua anggota DPR GR baik dari partai maupun golongan karya, ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan. Dalam melaksanakan tugasnya panitia negara ini mengalami banyak kendala, terutama dalam mempertemukan konsep pemerintah dengan konsep partai-partai politik yang selalu bertolak belakang, sehingga waktu penyelesain tugasnya menjadi berlarut-larut. Pada intinya pemerintah berkonsepsi bahwa pemerintah daerah hanya dapat berkembang jika dipimpin oleh seseorang sesepuh yang matang dan berwibawa serta memiliki peran lebih daripada dewan. Karena itu, pimpinan DPRD ex officio dijabat oleh kepala daerah. Sementara partai-partai berpendapat bahwa sesepuh untuk prediket kepala daerah harus segera dihapus, peran tunggal kepala daerah dibatasi dan diubah menjadi peran pemerintah daerah yaitu kepala daerah bersama DPRD, dan kepala daerah tidak dibenarkan lagi memimpin DPRD. Selain itu, pemerintah tetap ingin mempertahankan daerah administrative, sementara partai-partai menghendaki sebaliknya yakni daerah administrative dihapus, dan Indonesia dibagi habis dalam daerah-daerah otonom saja. Lebih kurang sebulan setelah UU No 18 tahun 1965 ini ditetapkan presiden sukarno, terjadilah peristiwa G30S/PKI. Sebenarnya menteri dalam negeri Sumarno Sosroatdmodjo sedang menyiapakn langkah-langkah awal untuk melaksanakan UU pemerintahan daerah yang baru ini, seperti menerbitkan instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Dilain pihak, partai-partai politik yang berkuasa cukup mendukung kehadiran UU ini, sebab otonomi riil yang seluas-luasnya, kepala daerah tidak lagi menjadi ketua DPRD, pimpinan DPRD di Nasakom, diadaknnya struktur wakil kepala daerah, tetap dipertahankannya lembaga BPH, disampaikannya pertanggungjawaban bidang otonomi dan tugas pembantuan oleh kepala daerah kepada DPRD dan ditambahnya sumber-sumber penerimaan daerah. Sementara di daerah-daerah, berbagai pemberontakan juga telah berhasil dipadamkan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah sebenarnya membutuhkan aturan-aturan yang tidak terpisah dan tersebar-sebar dalam mengelola daerahnya. Oleh karena itu kehadiran UU No 18 tahun 1965 ini sangat ditunggu-tunggu oleh daerah. Semua optimism tersebut akhirnya harus lenyap. Konflik perebutan kekuasaan yang berlarut-larut antara TNI-AD versus Presiden Soekarno sebagai ekses dari G30S/PKI telah menghambat pelaksanaan UU tersebut termasuk UU Desa Praja. Jadi, seluruh regulasi baru tata pemerintahan daerah yang didasarkan pada konsepsi demokrasi terpimpin tidak sempat diterapkan. • Peranan Baru Kepala Daerah Dengan adanya perubahan-perubahan besar di pusat, maka pemerintah daerah juga harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan asas demokrasi terpimpin. Di daerah juga harus diiptakan pemerintahan yang stabil dan efisien sehingga dapat membantu pemerintah pusat dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur. UU 1957/1 tidak mengandung asas demokrasi terpimpin dan tidak pula memungkinkan pemerintahan daerah yang stabil, karena DPD dan KD setiap waktu dapat dijatuhkan oleh DPRD. Sistem UU 1957/1 itu perlu diubah agar sejalan dengan keadaan pusat. Demikianlah pada tanggal 9 september 1959 presiden mengeluarkan PenPres 1959/6 tentang pemerintah daerah ( LN 1959/94, TLN 1843 ). Tetapi, dua bulan kemudian atas saran-saran DPA sementara Penpres ini disempurnakan dalam LN 1959/129, TLN 1896 ). Dengan dikeluarkannya PenPres 1959/6 itu,menteri DNOD Ipik Gandamana mengucapkan pidato radio untuk menjelaskan isi peraturan termaksud kepada pejabat-pejabat di daerahnya. penPres 1959/6 dimaksudkan untuk mewujudkan system pemerintahan daerah yang menjamin stabilitas dan efisiensi. Sistem ini mengandung pokok-poko pikiran sebagai berikut : a. Pimpinan dalam pemerintahan umum pusat di daerah dan pimpinan dalam bidang pemerintahan daerah diletakkan di tangan seorang kepala daerah, dengan demikian hapuslah adanya dualism dalam pemerintahan di daerah. b. Berhubung pentingnya kedudukan kepala daerah sebagai pemusatan pekerjaan, baik pada bidang pemerintah pusat, maupun pada bidang pemerintah daerah, kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dan diberik kedudukan sebagai pegawai negara. Pengangkatan tersebut dilakuakn diantara calonn-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan, calon-calon mana harus memenuhi syarat-syarat pendidikan, kecakapan, dan pengalaman dalam pemerintahan. Namun presiden menteri dalam negeri dan otonomi daerah dapat menentukan pengangkatan di luar pencalonan tersebut. c. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, dan oleh karena itu tidak dapat diberhentikan karena suatu keputusan DPRD. d. Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah : • Mengurus ketertiban dan keamanan umum di daerah • Menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah dan antara jawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah daerah. • Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah • Menjalankan lain-lain kewenangan umum yang terletak dalam bidang urusan pemerintah pusat ; 1 s/d 4 menurut perundangan yang berlaku, dan hingga kini dijalankan oleh gubernur bagi Daerah Tingkat I dan oleh Bupati/ walikota bagi Daerah Tingkat II. e. Sebagai alat pemerintah daerah kepala daerah bertindak sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, baik dibidang urusan rumah tangga daerah ( otonomi ), maupun di bidang tugas pembantuan dalam pemerintahan. f. Dalam menjalankan tugasnya dibidang urusan pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh sebuah badan pemerintah harian, anggota-anggotanya sedapat-dapatnya diangkat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD. g. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kepala daerah tidak lagi bersifat kolegial, akan tetapi sebaliknya juga tidak meningggalkan dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan. h. DPRD menjalankan kekuasaan, tugas, dan kewajiban pemerintah daerah menurut peraturan perundangan yang berlaku, selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam penetepan presiden ini. • Hubungan dengan DPRD a. Kepala daerah dan wakil kepala daerah atau anggota badan pemerintah harian yang ditunjuk olehnya senantiasa dapat menghadairi dan berbicara dalam rapat-rapat DPRD, baik yang terbuka maupun yang tertutup. b. Kepala daerah setiap waktu memberikan pertanggungan jawab atau keterangan mengenai tugas pekerjaannya di bidang otonomi dan tugas pembantuan dalam pemerintahan kepada DPRD bilaman diminta oleh DPRD atau bilaman dipandang perlu oleh Kepala Daerah. c. Kepala daerah tidak menadatangani suatu keputusan DPRD i.c juga peraturan daerah. • Hubungan dengan wakil kepala daerah a. Untuk daerah tingkat I dimana berdasarkan penetapan Presiden No 2/1960 telah diangkat seorang wakil kepala daerah, maka segala pertanggungan jawab tertinggi mengenai pemerintahan daerah tetap di tangan kepala daerah. b. Dengan tidak mengurangi hal dimaksud, kepala daerah, baik yang termasuk urusan pusat maupun yang urusan daerah dan bila perlu dapat menugaskan untuk atas namanya memberikan keterangan-keterangan atau jawaban kepada DPRD. TABEL UNDANG –UNDANG OTDA ERA EKSPERIMEN OTONOMI SELUAS-LUASNYA UU Komponen UU No 1/1945 UU No 22/1948 UU NIT No 44/1950 UU No 1/1957 Gagasan Kunci Kedaulatan rakyat daerah Sistem pemerintahan daerah yang demokratis Sama dengan UU No 22/1948 Otonomi seluas-luasnya Konteks tantangan Menampung luapan semangat kedaulatan rakyat pada awal revolusi Menunjukkan bawa system pemerintahan daerah RI lebih demokratis daripada sistem buatan belanda Akomodasi terhadap ketidakpuasan daerah-daerah luar jawa, terutama dalam bidang ekonomi dan keuangan Lembaga pemerintahan daerah Badan perwakilan rakyat, badan eksekutif, kepala daerah DPRD dan Dewan pemerintahan daerah ( DPD ) system pemerintahan daerah kolegial Sama dengan UU No 22/1948 DPRD dan DPD (sistem stetsel parlementer) Diolah dari Gie, 1968 Asaz desentralisasi sangat menonjol dalam UU No 1/1957. Kepala daerah bukan pejabat pusat. Ia senyatanya adalah lembaga eksekutif daerah dan bertanggung jawab kepada DPRD. Pemerintah pusat hadir dalam bentuk sistem pengawasan secara bertingkat. Propinsi mengawasi kabupaten, demikian pula kabupaten mengawasi desa. Inilah sebabnya mengapa undang-undang ini, satuan daerah otonom di desain secara berjenjang, yaitu daerah tingkat I (propinsi ), daerah tingkat II ( kabupaten ), dan daerah tingkat III ( desa ). KESIMPULAN Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia memang tidak semudah yang dibayangkan, mulai dari berdirinya RI tahun 1945 sampai pada masa demokrasu terpimpin. Dari penggambaran perjalanan kebijakan, isi kebijakan, dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di era tersebut sebenarnya dapat ditarik pelajaran yang sangat berharga. Bahwa dalam pembuat kebijakan otonomi daerah, kita harus selalu mengacu pada konstitusi. Seperti teori desentralisasi yang dikemukakan oleh Chemma bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah selalu saja ada tekanan politik yang terjadi. Hal itulah yang juga mewarnai proses otonomi daerah di Indonesia masa demokrasi terpimpin. Pergolakan-pergolakan di daerah menyebabkan kebijakan yang telah dibuat sulit untuk dilaksanakan. Apalagi muncul G30S/PKI yang benar-benar menghambat proses kebijakan tersebut. Dalam pembuatan kebijakan otonomi daerah, harus selalu mengacu pada konstitusi. Sehingga akan mempermudah untuk pelaksanaannya. Selain itu perubahan bentuk negara maupun system pemerintahan juga turut berperan penting, karena efeknya bisa mengahncurkan tatanan pemerintahan daerah yang sudah dibangun. Agar kebijakan otonomi daerah dapat terlaksana dengan baik, maka dalam setiap menyusun suatu RUU Pemerintahan Daerah yang baru, harus menggunakan pendekatan integral, bukan parsial. Apalagi membuat kebijakan otonomi daerah secara reaktif, melainkan holistik. Selain itu juga dibutuhkan evaluasi terhadap kebijakan otonomi daerah yang berlaku, sehingga dapat meminimalisir masalah-masalah yang akan timbul. DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichlasul, “ Regional and Central Government In Indonesia Politics”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992 Geertz, Clifford, “ Local Knowledge “, London : Fontana Press, 1983 Haris, Syamsuddin, “ Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas pemerintahan Daerah, Jakarta : AIPI, 2002 Hudoyo, Wahyu, “ Otonomi Daerah di Hindia belanda 1903-1940”, Jakarta : CV Sejahtera, 1999 Maddick, Henry, “ Democracy, Decentralization and Development”, Bombay, London, New York : asia Publshing House, 1966 Rondinelli, Dennis, “Decentralization, Territorial Power and the State : A Critical Response” dalam Development and change, London : Sage, Vol 21, 1990

Central Government in Local Development in Indonesia

Dalam buku “Central Government in Local Development in Indonesia” oleh Colin MacAndrews menyatakan bahwa struktur pemerintahan di Indonesia telah dibentuk oleh sejumlah faktor-faktor. Terdapat pengaruh yang berbeda bentuknya dari pemerintah yang dulu, termasuk pada masa kolonial dari abad 15 sampai abad 19, kemudian tipe administrasi di era kolonial yang dibentuk oleh pemerintah belanda di abad ke 19 dan akhirnya muncul sejak kemerdekaan Indonesia. Salah satu faktor yang memainkan peranan penting hampir disetiap bentuk perbedaan tipe-tipe dari pemerintah memiliki dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan wilayah diluar tersebut. Keseimbangan kekuasaan yang inheren dalam hubungan ini memiliki signifikansi tertentu di Indonesia karena bentuk dan keadaan wilayah, besar dan ketidakseimbangan distribusi dari populasi dan ditandai dengan etnik, agama, dan perbedaan ekologis. Struktur pemerintahan yang saat ini dipakai di Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 meletakkan bentuk bagi sebuah pemerintahan, termasuk divisi di Indonesia yang memiliki wilayah besar dan kecil. Di tingkat nasional, Indonesia dibawah UUD 1945 dengan kekuasaan ada di tangan rakyat. Kekuasaan ini diserahkan kepada sebuah lembaga pemerintah yang dinamakan MPR. Bentuk ini merupakan lembaga tertinggi negara yang memilih presiden dan wakilnya yang akan memimpin negara selama 5 tahun kedepan. Selain itu ada juga DPR yang akan membantu tugas pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah pusat di Indonesia didukung oleh sejumlah non-departemen penting yang memberikan laporan langsung kepada presiden. Termasuk Biro Pusat Statistik, Badan Kepegawaian Daerah. Di tingkat pemerintahan local, Indonesia dibagi kedalam 27 propinsi yang pengaturan administrasinya dibawah departemen dalam negeri. Beberapa propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang ditunjuk oleh presiden melalui Dewan Perwakilan rakyat Daerah ( DPRD Tk I ). Propinsi tersebut bekerja dengan dipimpin oleh gubernur dalam menyiapkan undang-undang dan anggaran pripinsi tetapi itu bukanlah kekuasaan yang utama, terutama adalah bertindak sebagai badan penasehat. Seorang gubernur memiliki satu atau lebih untuk membantunya tergantung pada ukuran wilayah, dan sebuah secretariat daerah yang terdiri dari sejumlah bagian keuangan, audit yang membantu gubernur dalam mengurus administrasi propinsi. System kepagawaian dalam masyarakat sipil sejak tahun 1983 telah memiliki tiga juta pegawai. Semua pegawai negeri tersebut dibagi dalam dua kategori, yang pertama pegawai yang dipilih oleh pemerintah pusat dan yang satu nya lagi dipilih oleh pemerintah daerah dan biasanya menghabiskan karir mereka di daerah tersebut. Jika berbicara tentang pemerintah lokal di Indonesia dapat kita bandingkan juga dengan pemerintahan lokal yang ada di inggris, seperti yang dibahas didalam buku “Local Government “ third edition oleh Howard Elcock. Jika bentuk pemerintahan local di Indonesia masih sangat bersifat tradisional dan dipengaruhi oleh zaman kolonial, maka pemerintah lokal di inggris bersifat dwimakna dan ambivalen. Inggris yang merupakan sebuah negara kecil, pulau yang padat populasi dengan kekuatan pemerintah pusat. Hanya sedikit pengakuan yang diberikan untuk regional atau budaya nasional dalam budaya. Tidak seperti di Indonesia yang memberikan keluasan dalam pengakuan untuk berbudaya. Namun mereka memiliki benteng perlindungan dari tirani sentralisasi. Pemerintah lokal dikontrol oleh sebuah peraturan dan kebijakan, misalnya nilai-nilai tradisional dianggap sebagai pelindung dari kontrol alat negara yang koersion oleh seorang perdana menteri. Otonomi daerah telah memberikan keyakinan terhadap struktur pendidikan dan metode pembangunan dengan jenis cara yang luas dan berbeda. Diatas semua, pemerintah daerah menyediakan sebuah cara dimana warga dapat mengontrol hubungan daerah mereka dan mengungakapkan keinginan mereka melalui suara mereka melalui kewenangan daerah mereka, terutama ketika mereka menolak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal bersifat tegang hal ini diakibatkan pemerintah pusat selalu mengintervensi pemerintah daerah dengan tiga alasan yaitu pertama untuk mengimplementsikan kebijakan yang telah dibuat, melalui undang-undang. Yang kedua adalah mencegah kekuasaan daerah dari mengejar materi (uang) dan kebijakan pengeluaran yang yang bertentangan dengan konselir pemrbendaharaan. Dan yang terakhir yaitu pemerintah pusat membutuhkan keyakinan terutama sebagai populasi yang terus bertambah, dimana pelayanan daerah dibutuhkan. Inggris merupakan negara kesatuan bukan federal. Sebagai negara kesatuan maka kedaulatannya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat membentuk pemerintah daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berada langsung dibawah pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan kepada daerah sebagai kewenangannya secara rinci, yang dikenal dengan ultravires doctrine. Dengan model penyerahan urusan pemerintahan seperti ini maka daerah mengetahui persis urusan-urusan pemerintahan apa yang perlu diselenggarakan. Berdasarkan pelimpahan wewenang secara rinci inilah pemerintah daerah tidak boleh melampaui kewenangan yang menjadi miliknya. Inggris menganut sistem parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana mentri dari partai pemenang pemilu atau yang menguasai mayoritas di parlemen. Perdana mentri bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan analisis hubungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat di Indonesia dibatasi oelh rezim orde baru dan reformasi. Rezim orde baru yang berkuasa sejak tahun 1968 sampai 1998 menyelenggarakan pemerintah daerah berdasarkan UU No 5 tahun 1974 tentang pemerintah daerah. Undang-undang ini menggunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan secara bersamaan, yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Menurut undang-undang tersebut pemerintah daerah tersusun secara hirarkis dari pusat sampai ke desa dengan susunan sebagai berikut : pemerintah pusat, pemerintah provinsi daerah tingkat I, pemerintah daerah kabupaten/kotamadya tingkat II, pemerintah wilayah kecamatan, dan pemerintah kelurahan.

Minggu, 19 Juni 2011

Revolusi di Indonesia

Revolusi di indonesia terjadi akibat adanya benturan besar antara kelas dan kebangsaan yang dahsyat, yang semata-mata pecah akibat pertentangan itu sendiri dan bersifat modern, yaitu berupa revolusi. Hal yang penting untuk kita ketahui adalah bahwa bagaimana sebenarnya revolusi itu, apakah bisa meletus besok atau lusa?? Menurut Douwes Deker dan Tjokroaminoto, kita memerlukan alat revolusi yaitu program organisasi dan taktik. Pengupasan yang cocok atas masyarakat indonesia merupakan syarat yang utama untuk mendapatkan perkakas revolusi. Revolusi kita tidak akan menyamai revolusi borjuis seperti yang terjadi di Prancis (1789) sebab kaum borjuasi kita terlalu lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh Imperialisme belanda. Akhirnya tidak akan menjadi sebuah revolusi politik yang terjadi di india, mesir dan filipina. Yaitu ketika borjuasi bumiputra merebut kekuasan politik (parlemen) saja karena kapitalis nasionalnya kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih banyak daripada di indonesia. Revolusi indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian besar menentang imperialsime barat. Selain itu didorong juga oleh rasa kebencian kaum timur terhadap bangsa barat yang mengina bangsa mereka. Pati revolusi (sekurang2nya dijawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri modern. Benteng2 politik, terutama imperialisme ekonomi belanda, hanya dapat dijatuhkan oleh kaum buruh. Disekitar kaum buruh itu berbaris kaum borjuasi kecil yang kondisinya bisa dikatakan 50;50. Artinya kaum borjuis akan menurut bila mereka tahu akan memperoleh kemenangan yang akan mendatangkan sebuah perubahan dalam perekonomian, politik, sosial, pada waktu menghadapi kecerdasan kapitalis. Bila kaum buruh kita tetap giat, maka tidak dapat dielakkan bahwa posisi kaum buruh ini begitu sentral. Dengan berbagai ragam suara, dalam keadaan yang berbeda2 dan oleh berbagai golongan rakyat, tujuan politik kita sudah dinyatakan dalam kemerdekaan nasional. Hal ini menyuruh seluruh rakyat indonesia untuk memiliki tekad dan semangat yang sama. Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalsi yang cepat menjadikan bangsa indonesia juga mengalami perubahan yg cepat, namun tidak halnya dalam perekonomian.

implementating Decentralization policies

Implementasi kebijakan desentralisasi terkadang terjadi secara cepat dan dramatis melalui bentuk administratif dan reorganisasi, namun terkadang berjalan lambat yang disebabkan adanya tekanan politik. Disni pemerintah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan. Satu hal yang paling diperdebatkan dalam pembangunan dunia yaitu tentang tingkat kontrol pemerintah pusat. Perencanaan pusat dianggap sangat penting untuk menuntut dan mengontrol ekonomi serta mengintegrasikan bangsa. Rondinelli mengklasifikasikan bebrapa pendapat yang telah dibuat untuk rencana pembangunan desentralisasi di negara dunia ketiga : 1. desentralisasi berarti mengatasi keterbatasan dan pelayanan kontrol pusat melalui pendelegasian kewenangan yang lebih besar. 2. desentralisasi dapat memotong atau mengefesienkan birokrasi . 3. melalui desentralisasi dapat memindahkan tgas pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga hal ini mampu merangsang pemerintah lokal untuk terus berupaya mengetahui dan memecahkan permasalahan daerahnya. 4. desentralisasi merepresentasikan berbagai jenis kepentingan, agama, etnik, dan kelompok suku dalam membuat keputusan pembangunan.

Sabtu, 18 Juni 2011

apa kabar Lapindo??

Bencana yang dtg semuanya atas kehendak Tuhan YME,.namun perlukah manusia mengintropeksi diri??? apa yang ada di benak anda ketika harus dihadapkan pada sebuah kenyataan jika tempat tinggal anda, harus "hilang" ditelan lumpur panas?? sungguh menyedihkan...... begitu banyak yang harus dikorbankan,.harta, anak, cucu,.sekolah,.hewan ternak...akhhh...tidak akan usai jika disebutkan satu persatu. berapa juta jiwa manusia yang harus terkatung katung,.menangis,.kelaparan,.kehilangan harta...hanya karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. ini bukan sebuah sindiran, tapi tentang sebuah arti nilai kemanusiaan yang seperti sudah habis terkikis sifat kerakusan dan ketamakan manusia itu sendiri. Lima tahun berlalu,..namun tak sedikit pun lumpur itu berhenti "marah" dan meluapkan kemarahannya di Sidoardjo. Mengapa?? mengapa sangat sulit bagi kita untuk bisa menyelesaikannya.....Yang paling ironis adalah saat ini tempat itu justru dijadikan objek wisata,..haah...sebuah objek wisata yang dibangun diatas tangisan warga sidoardjo,..bukan kan ini begitu tidak adil,.. dan kini muncul sebuah pertanyaan,..mau dbawa kemana kasus ini??? apakah harus dilupakan? sama seperti kasus2 lain yang juga hilang dimakan waktu...

tentang sebuah cita-cita

Begitu banyak yang dapat kita deskripsikan tentang sebuah cita-cita. Sebuah impian dan harapan yang mungkin bisa mengubah jalan takdir sesorang. Begitu juga aku,..sebagai anak manusia biasa yang punya sejutaaa cita-cita dibenakku. Aku layaknya gadis lain,.yang ingin dan sangat menginginkan sebuah ending yg indah dalam perjalanan hidupku. Jika dulu ibu kita Kartini yang selalu berjuang demi hak-hak kaum perempuan di Indonesia,.maka tidakkah salah jika aku ingin seperti beliau. Atau setidaknya mampu meneruskan semua cita-citanya. Mungkin terdengar klise,..tapi itulah arti sebuah cita-cita. Setiap orang berhak mendapatkan apa yang dia inginkan,.baik itu pendidikan,.kebebasan bersuara di tengah era reformasi seperti saat ini.

Rabu, 30 Maret 2011

Jejak itu...

jejak itu masih bisa kurasakan, walaupun terasa samar dan hambar. masih bisa kudengarkan gelak tawa riuh itu walau dalam kejauhan,.yaah..kamu masih sama seperti yg dulu..saat kamu beranjak meninggalkanku. kamu masih segar dalam ingatan ku,.dan kamu tidak akan bisa terhapus oleh waktu sekalipun..karna ruang dan nyawa ini tlah terikat bersama perginya hati itu beberapa tahun lalu. layaknya kupu kupu yang terbang bebas di alam ini,..itu lah aku....yg kini bebas menatap mu dalam kejauhan, berusaha tuk tersenyum walau ku galau. namun itu lah hidup yg tak bisa kita pungkiri... detik ini akan semakin lama...dan lamaaa sekaliii beranjak..jika ku belum bisa melihat indahnya pelangi dalam jiwa mu..jiwa yg kini damai dalam pelukan bunga lain........ kita dan kitaaaa...hanya itu yg slalu terucap...kita yg takkan mungkin bisa kembali dan berjabat tangan dalam sebuah kisah indah....

Jumat, 11 Februari 2011

ibu pertiwi menangis............ ketika menyaksikan bahwa bangsa ini diancam oleh sebuah isu SARA... akhir-akhir ini kita sangat miris ketika melihat semua peristiwa yang sedang melanda negara kita. kerusuhan dan kekerasan sepertinya tidak mau menjauh dari bangsa ini. belum lagi permasalahan mafia hukum bisa diselesaikan, justru saat ini kita harus dihadapkan pada sebuah perpecahan atas nama SARA. bukankah bangsa ini adalah bangsa yang sangat beradab dan menjunjung bhineka tunggal ika? tapi mengapa saat ini kita sepertinya lupa akan hal tersebut. perbedaan adalah sebuah anugrah yang patut kita hargai, bukan untuk dijadikan alat untuk saling menyerang sesama umat. untuk bisa hidup rukun dalam sebuah perbedaan adalah hal yang begitu mahal, dan diperlukan toleransi satu dengan yang lainnya.

Jumat, 28 Januari 2011

Tentang Kita

adakah yang lebih indah selain saat pertemuan itu?? saat-saat dimana kamu memberikan cinta dan kepercayaan ini padaku,..mungkin saat itu aku lah wanita yang paling beruntung di dunia ini....yaaaaaa....aku memang begitu beruntung bisa mencintaimu dan dicintai. kamu datang disaat yang tepat,.kamu datang disaat aku butuh,.dan kamu ada disaat aku jatuh karna cinta lalu yang begitu melukaiku. kamu datang memberikan harapan baru,.harapan bahwa cinta takkan selamanya menyedihkan dan berakhir dengan tangisan,.aku menangis dalam pelukmuu,.. dua tahun bukanlah waktu yang singkat bagi kita tuk saling berbagi,.saling memotivasi,.saling mengenal,.dan saling mencinta,.. tuhan memang adil,..mengirimkan mu kepadaku...kamu yang selalu mengerti akan sebuah cinta yang takkan selalu bahagia,.tentang pengorbanan menuju kebahagian bersama,..dan aku selalu bahagia di dekatmu... tentang kamu,.tentang semua perasaanku,.tentang semua keinginanku tuk slalu bisa denganmu sepanjang umurkuu,....

Sabtu, 15 Januari 2011

perempuan beratap awan

wajah itu begitu lemah dan pucat. Tersirat kesedihan dibalik kekuatan yang harus ditanggungnya. Dengan sebuah bakul dan kain panjang yang mengikat kepalanya, wanita itu tampak gagah berbalut baju lusuh dan kotor. Terlalu panjang jalan yang telah lalui disepanjang jakarta ini, terlalu banyak abu yang melekat diwajahnya. Didepan ruko yang sudah tutup dan tanpa alas, badan ringkihnya pun terbaring menjemput mimpi yang berharap indah yang mungkin takkan seindah dunia nyatanya. Diatas lampu malam yang terang benderang, diantara mobil-mobil mewah yang lalu lalang, tubuh itu damai dalam mimpinya. Dan aku hanya mampu melihat dengan penuh rasa haru, haru yang takkan mungkin bisa aku ungkapkan padanya. Ada rasa pedih dihati ini, mengapa ada kehidupan yang seperti ini dibalik megahnya ibu kota. Bukankah pemerintah menjanjikan bahwa rakyatnya akan makmur dan sejahtera?? Namun sepertinya hal itu hanya sebuah hitam diatas putih tapi takkan pernah ada pelaksanaannya. Mungkin wajah lemah itu hanya satu dari seribu atau jutaan orang yang bernasib sama. Yang hanya mampu menikmati hari tua mereka dibawah awan dan dinginnya malam. Dan tetap terlewatkan dari pandangan para pejabat negeri ini. :(

Senin, 03 Januari 2011

untitled

dibalik mendung itu aku duduk terdiam tak ada harapan dan kata yang terucap hanya ada air mata yang jatuh aku kecewa...... jika waktu boleh di ulang betapa indahnya hari-hari itu hari yang takkan pernah aku ceritakan kepada yang lain hari yang ternyata membuat ku akhirnya jatuh aku ingin berteriak......aku ingin menarikmu dari semua yang merebutmu tapi nyatanya terlalu jauh tuk ku raih itu dan aku hanya mampu menangis.... saat itu aku rapuh,.bagaikan ranting yang layu saat itu kau pun seolah akar yang begitu kuat tuk ku tarik kembali hanya ad penyeselan yang tersisa di benakku aku menunggumu begitu lama aku mengharapkanmu begitu sangat,. namun aku lupa siapa dirimu sebenarnya,.... namun semua tlah berlalu dan aku kini bukanlah ranting yang dulu rapuh takkan ada air mata lagi takkan ada keodohan itu lagi kebodohan untuk mencintaimu,..

yihaaaa....I LOVE Jakarta :))))

yihaaaa....I LOVE Jakarta :))))

life is never flat :))

life is never flat :))