Rabu, 18 Januari 2012

Gender Equality dalam proses rekrutmen caleg Partai Golkar

Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Proses rekrutmen atau pencalonan anggota legislatif yang dilakukan partai politik merupakan hal yang penting sebagai bagian dari tahapan penyelenggaraan pemilu. Selama ini perhatian terhadap proses rekrutmen anggota legislative oleh partai politik tampak relative kurang, padahal hasil rekrutmen yang dilakukan partai akan menentukan sosok dan kualitas calon-calon anggota legislative yang hendak dipilih oleh para pemilih. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen saat ini masih sangat terbatas. Perempuan yang ingin masuk dalam dunia politik harus menyadari bahwa perempuan masih memiliki hambatan di lingkungan politik, publik, budaya dan sosial yang sering tidak bersahabat dengan mereka. Bahkan secara pintas, komposisi pengambilan keputusan politik sekarang di berbagai wilayah memberikan bukti bahwa perempuan tetap menghadapi kendala dalam mengartikulasikan serta menentukan kepentingannya. Adanya maskulinitas kelembagaan yang telah menjadi ciri khas dan tanpa terlihat secara kasat mata oleh badan pembuat undang-undang, sehingga menjadikan kelembagaan ini terus melekat dan dianggap benar. Parlemen dibentuk dan di organisir serta didominasi oleh kaum laki-laki yang bertindak untuk kepentingan mereka dengan membangun prosedur-prosedur yang menguntungkan mereka, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat bias laki-laki dalam persoalan ini. Laki-laki mendominasi politik, laki-laki memformulasikan aturan permainan politik dan laki-laki mendefinisikan standar untuk evaluasi. Dapat dianalisis bahwa laki-laki justru akan bertindak jika perempuan tidak ada, sebab hal ini akan menumbangkan adanya batasan gender. Kehadiran satu perempuan dianggap akan mampu mengubah kebiasaan laki-laki. Jika kehadiran satu perempuan mampu membuat perbedaan, perubahan signifikan dalam jangka panjang akan sangat memungkinkan terwujudnya jumlah perempuan yang memadai di parlemen yang terdorong untuk mewakili kepentingan perempuan. Menurut Drude Dahlerup suatu ujian untuk melihat apakah massa perempuan yang kritis hadir adalah dengan melihat percepatan pengembangan representasi perempuan melalui tindakan yang memperbaiki situasi diri mereka sendiri dan perempuan pada umumnya. Begitu jumlah mereka bertambah maka akan semakin mudah untuk menjadi politisi perempuan dan mengubah pandangan public tentang perempuan. Dampak aktual yang bisa dibawa anggota parlemen perempuan akan bergantung pada sejumlah variabel, termasuk konteks politik dimana majelis menjalankan fungsinya, jenis dan jumlah perempuan yang ada di parlemen, dan aturan-aturan main di parlemen. Ketika perempuan di berbagai belahan dunia berjuang untuk mendapatkan hak pilih, mereka berharap bahwa hak ini takkan terelakkan lagi akan mengarah pada representasi perempuan yang lebih besar. Sebagian dari upaya ini termasuk upaya untuk meyakinkan pemilih perempuan untuk mendukung perempuan sebagai wakil mereka di legislatif. Perempuan yang berada di dalam dan luar partai politik mengorganisir dan memobilisir diri mereka untuk mengubah cara-cara rekrutmen politik partai yang sudah lama dan mapan. Ada 4 jenis perubahan yang dapat membuat perbedaan bagi perempuan, yaitu : 1. Perubahan institusional Merujuk pada tindakan-tindakan yang mengubah sifat institusi untuk membuatnya lebih ramah terhadap perempuan. Peningkatan kepedulian gender bukanlah semata-mata melibatkan perempuan, tetapi sensivitas bahwa perempuan pun tidak lebih dari kategori universal ketimbang laki-laki dan bahwa kelas, usia, etnisitas, ras, memiliki pengaruh menentukan terhadap kehidupan perempuan, sama seperti yang mereka lakukan terhadap laki-laki. 2. Perubahan Representasi Melibatkan tindakan khusus untuk menjamin keberlangsungan peningkatan akses ke legislatur, yang meliputi dorongan terhadap kandidat perempuan, penggunaan secara sadar kapasitas model peran, memajukan legislasi kesetaraan jenis kelamin, peraturan-peraturan kesetaraan. 3. Dampak terhadap output Merujuk pada feminisasi legislasi dan keluaran kebijakan-kebijakan, yaitu seberapa jauh undang-undang dan kebijakan dapat diubah atau dipengaruhi untuk keinginan perempuan. 4. Perubahan Diskursus Melibatkan perubahan yang ada di parlemen ataupun di luar parlemen, dengan memanfaatkan platform parlemen untuk mengubah sikap publik, sehingga perempuan berpolitik dianggap sebagai konsep yang wajar sebagaimana laki-laki. B. Rumusan Masalah Apa kebijakan partai Golkar dalam gender equality? Bagaimana persepsi partai Golkar dalam kebijakan gender equality baik dalam kerangka the politics of ideas maupun dalam kerangka the politics of presence? C. Landasan Teori a. Teori The politics of presence ( Ann Philips ) Adanya tuntutan akan proposionalitas didasari oleh argumentasi bahwa keterlibatan perempuan dalam politik masih menempati jumlah yang relative kecil. Perempuan sebagai anggota kelompok sosial struktural kurang terepresentasi dan ketidakseimbangan struktur sosial sering menghasilkan ketidaksamaan politik dan ekslusi relative bagi perempuan. Menurut teori ini bahwa interpretasi tentang representasi dari kerangka yang didasarkan atas the political of idea ( merepresentasikan opini warga Negara dan preferensi kebijakan ) ke kerangka yang didasarkan pada the politic of presence atau politik kehadiran. Philips berpendapat bahwa anggota dari kelompok yang termajinalisasi semestinya secara fisik terwakili dalam lembaga legislative dengan jumlah yang proporsional dengan populasinya. Lebih besar presence kelompok minoritas seperti perempuan, sangat penting tidak hanya karena mereka secara otentik merepresentasi anggota kelompok mereka, tetapi karena mereka mampu mengubah agenda dan membawa perspektif baru dalam politik kebijakan. Dalam ukuran keterwakilannya politik ide memiliki akuntabilitas sedangkan politik kehadiran memiliki autentisitas ( Young, 2000 ). Tuntutan proporsionalitas pada umumnya didasari oleh argumentasi bahwa dikebanyakan sistem politik perempuan menempati jumlah yang kecil dalam jabatan-jabatan politik dan secara umum perempuan relative sedikit memiliki posisi kekuasaan dan pengaruh dalam kehidupan publik dan privat. Perempuan sebagai anggota kelompok social structural kurang terepresentasi dan ketidaksamaan structural social tersebut sering menghasilkan ketidaksamaan politik dan eksklusi relative terhadap perempuan dari diskursi politik yang berpengaruh. Padahal ekslusi politik atau memarginalisasi kelompok subordinat adalah buruk dalam perspektif komitmen demokrasi. Alasan inilah yang mengundang inklusi politik yang lebih besar dengan lebih banyak mendorong representasi kelompok-kelompok yang tak terepresentasi, khususnya ketika kelompok minoritas menjadi subjek ketidaksamaan structural. Philips membagi politik kehadiran tersebut berdasarkan sifatnya yaitu deskriptif, substantive, dan transformative personal. Kehadiran deskriptif mengacu pada kehadiran fisik perempuan di lembaga politik, ekonomi, dan sosial. Kehadiran mereka menjadi simbol perempuan ada di lembaga politik sesuai ketentuan quota. Kehadiran substantive adalah dampak substansial karena kehadiran perempuan tehadap wacana, budaya, atau keputusan politik yang dihasilkan lembaga tersebut. Sementara itu transformatif secara personal adalah dampak kehadiran itu pada diri, identitas, system penciptaan makna dan pandangan dunia perempuan bersangkutan. D. Pembahasan dan Analisa Menurut Gabriel Almond, proses rekrutmen merupakan kesempatan rakyat dalam menyeleksi kegiatan-kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan latihan. Sehubungan dengan itu Almond dan Powel mengatakan bahwa partai politik melakukan seleksi terhadap orang-orang yang berbakat atau orang-orang pilihan untuk mengisi posisi-posisi politik tertentu dan kemudian memotivasi mereka untuk bekerja dalam kerangka kepentingan dan tuntutan parpol yang bersangkutan. Pemilu Legislatif 2004 sangat berbeda dari pemilu legislative tahun 1999, karena pada saat itu merupakan permulaan dilakukannya pemilihan secara langsung calon anggota legislative. Disini peran DPP masih sangat dominan sehingga setting urut kacang yang sudah dibuat DPP Partai melunturkan gagasan tersebut. Mereka yang berhasil meraih suara terbanyak bukan berarti langsung menjadi pemenang dan terpilih untuk duduk di DPR mewakili partainya. Di Pemilu 1999-2004 dari 120 anggota DPR dari fraksi Golongan Karya yang duduk di badan legislative hanya sebagian kecil perempuan yaitu 14 orang ( 11,7 % ) dan 106 lainnya adalah laki-laki ( 88,3% ) dari keseluruhan anggota DPR Fraksi Golongan Karya. Menurut Ann Philips bahwa proposionalitas perempuan sangat diperlukan dalam lembaga perwakilan. Skema representasi keterwakilan perempuan itu harus berdasarkan reservation seat, aturan dalam daftar calon legislative, affirmative action melalui teknik kuota dalam daftar pemilu yang semuanya mempresentasikan kelompok yang termarjinal. Berdasarkan hal tersebut menurut B.N Marbun yang diperlukan adalah kualitas kader partai yang mengisi parlemen. B.N Marbun menyatakan partai politik diwajibkan mencetak kader-kader politik yang kritis dan berpikir logis serta mengikuti dan memahami perkembangan yang terjadi baik dalam konteks nasional dan internasional. Namun adanya putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) No 22-24/PUU-VI/2008 yang telah membatalkan berlakunya Pasal 214 Huruf a,b,c,d dan e UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR dan DPRD. Pasal yang dibatalkan dalam UU No 10 Tahun 2008 tersebut mengatur penentuan calon anggota legislative berdasarkan nomor urut. MK kemudian memutuskan bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. MK beralasan bahwa keputusan itu sejalan dengan semangat demokrasi yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan acuan yang terdapat dalam UU No 72 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan. Hal ini mendapat protes dari kaum pendukung affirmative action yang menganggap bahwa putusan ini justru akan semakin memperlebar jurang diskriminasi terhadap perempuan dan memperlemah keterwakilan perempuan di parlemen. Menurut pandangan Ware, berbagai aturan formal yang diformat melalui institusi Negara akan sangat mempengaruhi proses rekrutmen. Namun tidak kalah pentingnya adalah mekanisme internal yang dibangun oleh partai politik itu sendiri sebagai wujud ekspresi dalam menentukan kriteria calon yang dikehendaki. Adapun kebijakan yang dilakukan partai golkar dalam gender equality yaitu dengan pembentukan organisasi-organisasi sayap, yaitu Angkatan Muda Partai Golkar ( AMPG ) dan Kesatuan Perempuan Partai Golkar ( KPPG ) dari tingkat pusat hingga tingkat kelurahan/desa. Ide dasar pembentukan AMPG adalah untuk menghimpun dan memberdayakan kader-kader muda partai golkar, sebagai kader-kader partai yang militan dan berdedikasi tinggi, serta sebagai garda depan dalam menjaga martabat dan kewibawaan partai. Sementara ide pembentukan KPPG adalah untuk menghimpun dan memberdayakan perempuan-perempuan partai golkar sebagai kader-kader partai yang mandiri, berdedikasi tinggi dan mampu menyelenggarakan berbagai aktivitas sosial yang terkait dengan masalah-masalah keperempuanan dan kemasyarakatan. Hal ini dilakukan partai golkar dalam rangka the politics of presence dan politics of idea. Sehingga perempuan-perempuan tersebut tidak hanya menjadi simbol kuota 30% yang harus dipenuhi oleh partai, melainkan adanya suatu kesadaran bahwa perempuan juga berhak diberi kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Perempuan diangkat menjadi salah satu kader partai golkar sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Sehingga pada nantinya mereka mampu membawa perubahan di tubuh partai serta kaum perempuan yang mereka wakili. Hal ini juga membuktikan bahwa partai golkar memiliki keseriusan dalam mendukung perempuan untuk bisa duduk di parlemen sesuai dengan affirmative action. Menurut Pippa Norris bahwa kebijakan affirmative selain menempatkan perempuan dalam daftar calonanggota legislative sebagai calon potensial, bisa juga dilakukan dengan memberikan pelatihan khusus, dukungan pendanaan dan publikasi berimbang terhadap calon perempuan tersebut. Salah satu kader perempuan partai golkar yang berhasil duduk di parlemen yaitu Nurul Qomaril Arifin, M.Si. Proses rekrutmen yang dilakukan partai golkar terhadap beliau bermula dari database CETRO ( center for electoral reform ) sebuah lembaga pengkajian masalah politik dan pemilu, 21 april 2003, yang memilih beliau sebagai salah satu perempuan yang dianggap berpotensi menjadi anggota legislatif. Begitu banyak partai yang “meminangnya” pada saat setelah hasil survey tersebut, termasuk golkar. Namun setelah dengan berbagai pertimbangan maka beliau akhirnya memilih masuk ke golkar dan memulai karirnya dengan menjadi pengurus DPP PG bidang budaya, pariwisata dan pemberdayaan perempuan. Oleh karena itulah jumlah dan posisi perempuan di parpol akan sangat mempengaruhi keterpilihannya menjadi caleg dengan nomor urut strategis. Berikut akan saya berikan juga jumlah persentasi perempuan dan laki-laki dalam perolehan suara di pemilu 2004-2009. Jumlah Laki-laki dan Perempuan di Parlemen berdasarkan Partai Politik 2004-2009 No Partai Politik Total Male Female No % No % No % 1 Golkar 127 23,1 109 85,8 18 14,2 2 PDIP 109 19,8 98 89,9 12 11,0 3 PPP 58 10,5 55 94,8 3 5,2 Total 294 42,4 262 265,5 33 30,4 Sumber : Komisi Pemilihan Umum-National Electoral Commision ( 2004 ), Kompas ( 2005 ) Dari Tabel diatas dapat kita lihat bahwa partai golkar di pemilu 200-2009 jumlah perempuan yang duduk di legislative hanya 14,2%, sedangkan laki-laki 85,8%, artinya laki-laki masih mendominasi dalam pemilu 2004-2009. Untuk meningkatkan representasi perempuan dalam proses rekrutmen legislative yaitu dengan : a. Perempuan harus mengorganisir diri mereka sendiri di dalam dan di luar parpol. b. Perempuan harus mendesak partai agar mengeluarkan peraturan-peraturan yang jelas dalam penyeleksian kandidat. c. Sistem representasi proporsional lebih baik daripada sistem mayoritas dalam peningkatan representasi perempuan. E. Kesimpulan Sejak Reformasi tahun 1998, Golkar tidak lagi sebagai partai hegemonik dan posisi Golkar sebagai partai harus berorientasi pada pasar, bukan lagi berorientasi pada kekuasaan. Karena itu golkar yang akhirnya berubah menjadi partai golkar melakukan beberapa perubahan dan penyesuaian, baik yang berkaitan dengan mekanisme pengambilan keputusan, yang tidak lagi bergantung pada Dewan Pembina, serta Tiga jalur, melainkan melalui forum-forum pengambilan keputusan partai, yaitu MUNAS, RAPIM dan Rapat Pleno. Namun tetap saja jumlah keterwakilan perempuan dalam parlemen masih jauh dari jumlah kuota. Implikasi dari teori Ann Philips adalah bahwa perempuan kehadirannya dalam parlemen masih hanya sebatas bersifat deskriptif, yaitu hanya sebatas kehadiran fisik dan sangat jarang sekali kehadiran perempuan bisa menjadi bersifat transformative. Hal inilah yang terus diperjuangkan oleh partai golkar, bagaimana agar perempuan golkar bisa tetap eksis dalam dunia politik serta berguna bagi seluruh rakyat Indonesia. Partai golkar dalam melakukan rekrutmen para calegnya khususnya perempuan tidak memiliki perbedaan dengan cara merekrut laki-laki, hanya saja dalam penentuan nomor urut masih ditetapkan oleh petinggi partai golkar sehingga perempuan masih sedikit terlupakan. Pemilu legislative 2004 telah membuktikan diperhitungkannya perempuan dalam keikutsertaannya dalam parlemen dengan kuota 30%, walaupun belum sepenuhnya kuota tersebut terpenuhi. Namun partai golkar dalam membangun para kader perempuannya telah membuat KPPG ( kesatuan perempuan partai golkar ) dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, hal ini membuktikan bahwa partai golkar memiliki keseriusan dalam memberdayakan kaum perempuan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Harris, Syamsuddin, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI, 2005 Tandjung, Akbar, The Golkar Way, Survival Partai Golkar di Tengah Turbelensi Politik Era Transisi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Ware, Alan, Political Parties and Party Systems, Oxford University Press, 2006 Karram, Azza, Perempuan di Parlemen, bukan sekedar jumlah bukan sekedar hiasan, Tong, Rosmarie, Feminist Thought, Yogyakarta: Jalasutra, 2006 Eisenberg, Avigail, Minorities within Monorities, Cambridge University Press, 2005

yihaaaa....I LOVE Jakarta :))))

yihaaaa....I LOVE Jakarta :))))

life is never flat :))

life is never flat :))