Senin, 20 Juni 2011

OTONOMI DAERAH DI ERA DEMOKRASI TERPIMPIN

A. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah diawali dengan dikeluarkannya UU No 1 tahun 1945. Tetapi UU yang dibuat pada masa awal kemerdekaan ini tidak bisa dijalankan dengan baik, karena kondisi pemerintahan yang abnormal. Sesudah itu, silih berganti sejumlah UU pemerintahan daerah diterbitkan, mulai dari UU No 22 tahun 1948 sampai UU No 18 tahun 1965 (demokrasi terpimpin). Namun karena terjadi krisis politik, UU otonomi daerah tersebut sulit dan bahkan tidak bisa dilaksanakan. Dalam makalah ini akan dijelaskan undang undang otonomi daerah yakni UU No 18 tahun 1965, yaitu pada era demokrasi terpimpin. UU No 18 tahun 1965 tentang pengaturan desentralisasi administratif relatif tidak memiliki perbedaan dengan UU No 1 tahun 1957. Prinsip otonomi riil masih di adopsi, walau kini diberi embel-embel otonomi riil seluas-luasnya. Urusan-urusan pemerintahan pusat banyak dialihkan menjadi urusan pemerintahan daerah, demikian pula halnya dengan tugas pembantuan yang makin digencarkan. Sedangkan tugas dekonsentrasi menjadi komplemen yang vital dari desentralisasi dan tugas pembantuan itu. Jadi kebijakan otonomi riil yang seluas-luasnya dibarengi oleh dukungan desentralisasi finansial yang lumayan, tetapi tidak disertai dengan desentralissi politik yang memadai dan adanya pemusatan kekuasaan di tangan kepala daerah, bisa membangkrutkan pelaksanaan otonomi daerah. Asaz demokrasi terpimpin dilaksanakan secara konsekuen dalam lingkungan pemerintah daerah. Ketentuan UU No 1/1957 mengenai susunan pemerintah daerah diubah dengan Penpres 1959/6. Sehingga membuat partai-parta besar menentang PenPres tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, tidak demokratis, mengebiri kedaulatan rakyat, dan merupakan langkah mundur dalam otonomi. Namun hal ini dianggap wajar dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam menciptakan keseimbangan pusat dan daerah dengan menhgapuskan dualism dalam pimpinan. Penyusunan UU pemerintahan daerah yang baru dipicu oleh adanya keragaman pengaturan daerah setelah pengakuan kedaulatan 17 agustus 1950. Sebagai konsekuensi dari pembentukan NKRI adalah digantinya UUD 1945 dengan UUDS 1950. Implikasi penggantian konstitusi itu adalah perlu diperbaharuinya UU Pemerintahan Daerah yang ada. Secara resmi desentralisasi diperkenalkan dalam pemerintahan sejak 1903 melalui Undang Undang Desentralisasi. Tujuannya adalah dimungkinkan adanya pembentukan daerah-daerah otonom diseluruh wilayah Hindia Belanda. Hal ini dipandang perlu karena sistem sentralisasi yang selama ini dipergunakan ternyata tidak mampu lagi melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat lokal. Berdasarkan sistem sentralisasi, pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pusat. Sistem pemerintahan desentralisasi sebenarnya telah digagas oleh para pendiri negara dengan menempatkan satu pasal dalam UUD 1945 ( pasal 18 ). Implementasi pasal tersebut selalu menimbulkan persoalan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Pergulatan mencari makna kebangsaan yang dipandang sebagai identitas sekunder, selalu menghadapi persoalan identitas primer berupa kuatnya solidaritas etnik, agama, adat dan bahasa serta tradisi lokal. Faktor-faktor ini pula yang menyebabkan timbulnya pemberontakan kedaerahan selain faktor ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya ekonomi antara pusat dan daerah. Sejak tahun 1945 itu pula pemerintah pusat memandang pluralitas secara ambivalen. Di satu sisi mempromosikan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi negara, disisi lain menerapkan kebijakan sentralisasi karena kebhineka dilihat sebagai ancaman disintegrasi. Pemekaran daerah Indonesia adalah pembentukan wilayah administrative baru di tingkat propinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Setelah DPR hasil pemilihan umum dilantik, dibentuklah sebuah kabinet baru yangdipimpin oleh Ali Sastroamodjojo, Mohammad Roem, dan Idham Chalid pada tanggal 26 maret 1956. DPR pilihan rakyat itu tersusun dari 28 partai, diantaranya yang besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI ) dengan kekuatan suara yang tidak jauh berbeda. Dengan demikian, kabinet yang terbentuk itu merupakan kerja sama dari berbagai partai yang masing-masing mempunyai pendirian dan kepentingan sendiri. Sudah tentu dalam melakukan kerja sama itu masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan dan memperjuangkan keuntungan partainya sendiri. Akibatnya adalah banyak masalah negara yang pokok tidak dapat diselesaikan secara memuaskan. Sebagai akibatnya dalam masyarakat timbul perasaan tidak puas terhadap pemerintah. Terutama rasa tidak puas itu menyala besar dalam lingkungan angkatan darat. Beberapa perwira mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik dengan maksud untuk memperbaiki kedaan negara. Dalam bulan-bulan oktober- November 1956 sejumlah perwira angkatan darat di jawa barat merencanakan untuk menggulingkan pemerintah. Di sumatera tengah para anggota ex-Divisi Banteng membentuk Dewan Banteng dalam bulan November 1956 yag menuntut dilaksanakannya perbaikan-perbaikan di segala bidang. Dalam bulan desember 1956 Dewan ini mengoper pimpinan pemerintahan daerah dari Gubernur sumatera tengah. Dalam bulan desember 1956 panglima T.T.I ( sumatera utara ) mengoper pula pimpinan pemerintahan daerah dan menyatakan melepaskan hubungan dengan pemerintah pusat untuk sementara serta tidak mengakui kabinet Ali. Di sumatera selatan gubernur mengeluarkan suatu maklumat yang membatasi mengalirnya uang keluar dar daerah sumatera selatan karena dianggap merugikan pembangunan daerahnya. Dalam bulan maret 1957 penguasa militer T.T II mengoper pula kekuasaan sipil di sumatera selatan. Pada waktu yang bersamaan panglima T.T VII di Makassar mengumumkan suatu “piagam perjuangan semesta “. Di Jakarta suasana juga semakin hangat. Fraksi-fraksi pemerintah dalam DPR mulai menyerang kebijaksanaan kabinet. Karena tekanan-tekanan dari luar itu dan pengunduran beberapa menteri yang terjadi dalam bulan desember 1956 dan bulan januari 1957, akhirnya kabinet Ali meletakkan jabatannya pada tanggal 14 maret 1957. Untuk mencegah menguatnya daerahisme, provinsialisme, dan memperkuat kontrol pusat, maka dikeluarkanlah undang-undang No 1/1957. Dibawah undang-undang baru ini membuat adanya keseimbangan antara pusat dan daerah. Meskipun bukan produk DPR hasil pemilu 1955 secara penuh, hubungan pusat dan daerah lebih demokratis. Dalam konteks masa kini keberlanjutan dan perubahan wacana dan praktik otonomi daerah dibagi menjadi dua. Pertama fase eksperimen otonomi daerah seluas-luasnya tahun 1945-1958, dari UU No 1/1945 hingga UU No 1/1957, dan kedua fase resentralisasi tahun 1959-1973. Namun yang akan dibahas hanya fase demokrasi terpimpin yang ditandai transformasi struktur pemerintahan daerah. Partisipasi sosial politik dan prakarsa masyarakat daerah begitu luas diakomodasi. Sejak kemerdekaan sampai saat ini, proses desentralisasi dengan distribusi kekuasaan/kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah selalu bergerak dan berubah-berubah dari satu titik ke titik lain dengan bobot kekuasaan yang berpindah-pindah mengikuti perubahan rezim politik dalam memandang visi tentang kebangsaan. B. Rumusan Masalah Di era demokrasi terpimpin proses pelaksanaan otonomi daerah banyak diwarnai dengan konflik ketidakpuasan dari daerah terhadap pemerintah pusat, hal ini terjadi karena pada masa itu partai-partai politik besar yang berkuasa begitu mendominasi pemerintahan dan bekerja berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok mereka. Pergolakan-pergolakan di daerah yang menuntut kesataraan dengan pusat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah penuh dengan dilema. Maka dalam makalah ini adapun permasalahannya yaitu bagaimana sebenarnya sistem pelaksanaan otonomi daerah di era demokrasi terpimpin yang pernah dialami oleh Indonesia? Apa yang menyebabkan begitu banyak pergolakan yang terjadi dalam pelaksanaan otda tersebut? Bagaimana dengan implikasi UU No 18 tahun 1967? C. Landasan Teori Adapun landasan teori yang dipakai dalam menjelaskan tentang masalah ini yaitu : Berdasarkan teori politik lokal dari Dennis A Rondinelli and G Shabbir Chemma yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi terjadi hampir diseluruh negara yang memiliki perubahan konstan. Perubahan ini bisa terjadi secara cepat dan dramatis melalui interaksi sosial dan tekanan politik, dan hasilnya dapat kita temukan dalam proses pembangunan bangsa. Dimana pemerintah memainkan peraturan secara dominan. Hal yang paling penting dalam yaitu tentang kontrol pemerintah pusat. Perencanaan pusat dianggap sangat penting untuk menuntun dan mengontrol ekonomi masyarakat serta menyatukan bangsa. Sehingga otonomi daerah tersebut daoat dipahami sebagai pelimpaan wewenang atau otoritas dalam perencanaan, membuat keputusan, atau urusan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, pemerintah lokal, atau organisasi non pemerintah ”. Rondinelli telah mengidentifikasi beberapa pendapat yang telah dibuat untuk rencana pembangunan desentralisasi dan administrasi di negara dunia ketiga, yaitu : a. Desentralisasi berarti mengatasi keterbatasan pelayanan dan kontrol pusat melalui mendelegasikan kewajiban yang lebih besar untuk rencana pembangunan dan manajemen untuk pejabat yang bekerja diluar lapangan. b. Desentralisasi dapat memotong dalam jumlah besar birokrasi dan secara tinggi karakteristik struktur prosedur dari rencana pusat dan manajeman dalam pembangunan bangsa dimana hasilnya merupakan bagian dari konsentrasi lebih dari kekuasaan, kewenangan, dan sumber-sumber pusat dari pemerintah dalam modal nasional. c. Melalui fungsi desentralisasi dan pemindahan tugas pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pengetahuan dan kepekaan dari pejabat lokal terhadap permasalahan lokal, dan kebutuhan dapat dimajukan. d. Desentralisasi dapat lebih baik dari politik dan administrasi dari kebijakan pemerintah nasional kedalam area control dari modal nasional. e. Desentralisasi merepresentasikan berbagai jenis kepentingan, agama, etnik, kelompok suku dalam membuat keputusan pembangunan yang dapat memimpin untuk ekuitas dalam alokasi sumber pemerintahan dan investasi. • Mendefinisikan hubungan pusat dan daerah Bagi kalangan Marxian pada umumnya, tidak relevan untuk membedakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Mereka semua adalah ‘monolithic state aparatus’ yang ‘unity’, yang tidak perlu untuk dideferensiasikan menurut level geografis. Pemerintah daerah tidak lebih dari sekedar institusi yang memproduksi kehadiran negara di daerah bagi penciptaan kondisi yang memungkinkan proses akumulasi kapital berlangsung. Walaupun pandangan ini kemudian di revisi oleh kalangan Marxian berikutnya, namun tetap tidak terjadi perubahan substansial yang dilakukan. Kalangan liberalis cendrung mempunyai pandangan yang lebih positif dan optimistik. Pemerintahan di daerah yang dijalankan secara demokratis akan memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menuangkan kedaulatannya. Hal ini bukan hanya saja akan memperkuat proses demokrasi lokal, tetapi juga memberikan kontribusi bagi demokrasi dan integrasi nasional (smith 1985, 19-37). Sebagai pisau analisis dua pandangan tersebut memberikan kontribusi yang sama, yaitu kita tidak bisa membicarakan hubungan pusat dan daerah semata-mata sebagai hubungan pemerintah. Dalam upaya untuk menghubungkan demokrasi lokal dengan demokrasi nasional, (page &goldsmith 1987:3-8) menegaskan perlunya untuk membangun akses daerah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat pusat. Hal ini penting untuk dibangun karena hampir setiap hari kebijaksanaan-kebijaksanaan pusat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di daerah. Oleh sebab itu diperlukan pelembagaan media dan mekanisme pengaruh yang bisa digunakan oleh daerah D. Pembahasan dan Analisa Hubungan yang normal antara pusat dan daerah menjelang akhir 1956 mengalami kemunduran yang besar. Keutuhan negara republik Indonesia terancam dengan terjadinya pertentangan mula-mula antara penguasa-penguasa militer di daerah dengan pemerintah pusat. Pertentangan itu makin lama makin hebat dan meluas sehingga menjadi semacam pemberontakan daerah terhadap pusat. Pertikaian itu akhirnya hanya dapat diselesaikan dengan kekuatan senjata. Sebab-sebab pemberontakan daerah itu menyangkut banyak faktor yang satu sama lain saling bertalian. Mula-mula ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat dicetuskan oleh perwira-perwira angkatan darat karena persoalan-persoalan organisasi angkatan perang. Tetapi, ini kemudian bertautan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi di daerah-daerah luar jawa. Seperti yang dikatakan oleh Donald Fryer : langkah-langkah menentukan dalam rentetan hura-hara diantara bulan desember 1956 sampai bulan maret 1957 yang sangat mengurangi kekuasaan pemerintah Indonesia atas sebagian besar wilayah di luar jawa diambil oleh perwira senior angkatan darat. Tindakan mereka pada pokoknya bersumber pada ketidakpuasan mengenai organisasi di dalam angkatan darat serta hubungannya dengan pemerintah pusat. Sementara itu adalah jelas bahwa tindakan para komandan angkatan darat di sumatera, Kalimantan, dan Indonesia timur sesuai dengan aspirasi politik setempat dan didukung sepenuhnya oleh kepentingan ekonomi setempat. Kepentingan ekonomi menjadi salah satu pokok dalam tuntutan-tuntutan daerah terhadap pusat. Daerah-daerah di luar jawa menghasilkan bahan-bahan ekspor dan mendatangkan devisa umumnya mengeluh bahwa mereka perlu diperlakukan tidak adil. Keluhan-keluhan itu dapat dibedakan dalam 2 perumusan sebagai berikut : a. Dikatakan bahwa belanja pemerintah tidak secara layal dibagi dianatara jawa dengan sisa daerah-daerah lain di Indonesia, bahwa pulau-pulau di luar jawa, yang sebagai pengekspor member sumbangan yang penting bagi pendapatan negara melalui bea impor dan ekspor, berhak atas bagian yang lebih besar dari belanja negara bagi pekerjaan umum disbanding yang dapat dibenarkan berdasarkan jumlah penduduk. Khususnya, yang paling menyakitkan ialah bahwa jaringan jalan darat serta jalan kereta api di jawa dilawankan dengan sarana perhubungan yang sangat langka di pulau-pulau yang lain. b. Dikatakan bahwa valuta asing yang pada pokoknya dihasilkan oleh sumatera dibagikan secara tidak layal bahwa dalam kebijakan pengawasan impornya serta pembagiannya mengenai lisensi impor, pemerintah pusat melakukan diskriminasi secara tidak adil terhadap pulau-pulau diluar jawa. Dikatakan bahwa karena diskriminasi di masa yang lampau inilah maka daerah-daerah seharusnya berhak untuk menguasai sebagian dari mata uang asing yang mereka hasilkan. Berdasarkan berbagai sumber dapat saya rangkum beberapa karegori perbedaan berdasarkan nilai ekspor dalam bentuk angka-angka perbandingan untuk masa januari sampai September 1956 yang menunjukkan ketidakadilan itu. Angka-angka itu diperoleh dari sumber-sumber resmi seperti kantor pusat statistik dan majelis industri Indonesia adalah sebagai berikut : Daerah Nilai ekspor Jatah impor Jawa Sumatera Daerah-daerah lain 1.214 juta (16,7%) 5.104juta (71%) 890 juta 75,2% 20,8% Jadi sumatera yang menghasilkan 71 % devisa hanya kebagian 20,8 % dari barang-barang yang di impor, sedang jawa yang hanya menyumbang 16,7 % devisa menikmati 75,2 % dari barang-barang yang didatangkan dari luar negeri. Untuk membendung mengalirnya penghasilan daerah ke pusat, daerah-daerah di luar jawa menjalankan perdagangan langsung ke luar negeri dengan mengabaikan peraturan-peraturan pusat. Bahan-bahan mentah ditukarkan dengan alat perlengkapan yang dibutuhkan oleh penguasa-penguasa militer dan sipil di daerah. Sebagai contoh misalnya daerah minahasa dikabarkan memiliki suatu armada kendaraan jeep untuk keperluan pemerintah daerahnya yang diperoleh dari barter. Daerah-daerah merasa perlu untu menahan mengalirnya uang ke pusat karena ingin membangun daerahnya. Jadi, pembangunan dan kemajuan daerah merupakan pula salah satu sebab pemberontakan daerah terhadap pemerintah di Jakarta. Hal ini dinyatakan juga oleh Kroef. ” alasan pokok mengapa keresahan terus berlanjut ialah terdapatnya perasaan yang tersebar luas di daerah bahwa Jakarta sebenarnya tidak tahu sedikitpun mengenai apa yang terjadi di propinsi-propinsi, dan bahwa semua tindakannya merupakan kompromi-kompromi yang setengah-setengah dan sekedar memenuhi kebutuhan sementara. Karena pemberontakan daerah menandakan sudah dewasanya kelompok-kelompok penting bersemangat wiraswasta yang mencerminkan gejolak hati yang dinamik untuk membangun daerah dan ingin sekali mempelopori pekerjaan menyusun kembali apa yang dapat disebut (berbeda dengan jawa yang ditinjau dari segi ekonomi tersusun secara berlapis-lapis serta berpenduduk terlampau padat) suatu “masyarakat perbatasan”. Haruslah digarisbawahi bahwa kekuasaan daerah yang semakin bertambah besar mencerminkan pertumbuhan tenaga-tenaga terpendam yang mengarah kepada pembangunan daerah, yang entah benar atau tidak, merasa tertekan oleh susunan pemerintah nasioanl yang terlampau memusat. Seperti yang dinyatakan diatas, hasrat untuk membangun daerah itu terkekang oleh susunan pemerintah pusat yang terlampau sentralistis. Padahal pusat sendiri tidak melakukan perbaikan-perbaikan di daerah-daerah luar jawa, sedang daerah-daerah itu tidak bisa bertindak sendiri secara leluasa karena harus minta izin terlebih dulu dari pusat. Selain tidak mempunyai wewenang, daerah juga tidak memiliki sumber-sumber keuangan sehingga misalnya untuk memperbaiki sebuah rakit penyeberangan saja diperlukan pengesahan dan anggaran dari pusat. Dengan demikian, ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah juga bersumber pada politik desentralisasi yang dijalankan pusat. Daerah-daerah mengajukan tuntutan-tuntutan mengenai penyerahan wewenang dan urusan pusat kepada daerah serta pengaturan hubungan keuangan. Hal ini mensinyalir ketidakpuasan daerah dapat disebut sebagai suatu proses terhadap sedikitnya keikutsertaan yang dimungkinkan bagi prakarsa daerah untuk membangun negara. Apa pun yang menjadi sumbernya, ada bidang-bidang ketidakpuasan tertentu yang dapat dicatat. Adanya penetapan hubungan-hubungan keuangan diantara tingkat-tingkat pemerintahan, serta perasaan yang terdapat di daerah-daerah bahwa terlampau sedikit kegiatan yang berarti yang dipercayakan kepada mereka. Gagasan tentang demokrasi terpimpin dan pelaksanaanya telah beberapa kali dibicarakan dalam kabinet Karya maupun Dewan Nasional. Pada tanggal 7 november 1958 kabinet mengadakan sidang khusus yang membahas secara mendalam tentang ide itu. Sebagai kesimpulannya kabinet menetepkan prinsip-prinsip pokok demokrasi terpimpin yang akan dilaksanakan dalam rangka memperlakukan kembali UUD 1945 dari RI Proklamasi. Kemudian oleh kabinet diadakan pertukaran pikiran dengan presiden sampai tiga kali, terakhir pada tanggal 26 januari 1959. Akhirnya pada tanggal 19 febuari 1959 kabinet Karya mengambil keputusan-keputusan mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembalinya ke UUD 1945. Maka kemudian dibentuklah UU No 18 Tahun 1965 yang disyahkan oleh sukarno. Komposisi keanggotannya adalah semua anggota DPR GR baik dari partai maupun golongan karya, ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan. Dalam melaksanakan tugasnya panitia negara ini mengalami banyak kendala, terutama dalam mempertemukan konsep pemerintah dengan konsep partai-partai politik yang selalu bertolak belakang, sehingga waktu penyelesain tugasnya menjadi berlarut-larut. Pada intinya pemerintah berkonsepsi bahwa pemerintah daerah hanya dapat berkembang jika dipimpin oleh seseorang sesepuh yang matang dan berwibawa serta memiliki peran lebih daripada dewan. Karena itu, pimpinan DPRD ex officio dijabat oleh kepala daerah. Sementara partai-partai berpendapat bahwa sesepuh untuk prediket kepala daerah harus segera dihapus, peran tunggal kepala daerah dibatasi dan diubah menjadi peran pemerintah daerah yaitu kepala daerah bersama DPRD, dan kepala daerah tidak dibenarkan lagi memimpin DPRD. Selain itu, pemerintah tetap ingin mempertahankan daerah administrative, sementara partai-partai menghendaki sebaliknya yakni daerah administrative dihapus, dan Indonesia dibagi habis dalam daerah-daerah otonom saja. Lebih kurang sebulan setelah UU No 18 tahun 1965 ini ditetapkan presiden sukarno, terjadilah peristiwa G30S/PKI. Sebenarnya menteri dalam negeri Sumarno Sosroatdmodjo sedang menyiapakn langkah-langkah awal untuk melaksanakan UU pemerintahan daerah yang baru ini, seperti menerbitkan instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Dilain pihak, partai-partai politik yang berkuasa cukup mendukung kehadiran UU ini, sebab otonomi riil yang seluas-luasnya, kepala daerah tidak lagi menjadi ketua DPRD, pimpinan DPRD di Nasakom, diadaknnya struktur wakil kepala daerah, tetap dipertahankannya lembaga BPH, disampaikannya pertanggungjawaban bidang otonomi dan tugas pembantuan oleh kepala daerah kepada DPRD dan ditambahnya sumber-sumber penerimaan daerah. Sementara di daerah-daerah, berbagai pemberontakan juga telah berhasil dipadamkan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah sebenarnya membutuhkan aturan-aturan yang tidak terpisah dan tersebar-sebar dalam mengelola daerahnya. Oleh karena itu kehadiran UU No 18 tahun 1965 ini sangat ditunggu-tunggu oleh daerah. Semua optimism tersebut akhirnya harus lenyap. Konflik perebutan kekuasaan yang berlarut-larut antara TNI-AD versus Presiden Soekarno sebagai ekses dari G30S/PKI telah menghambat pelaksanaan UU tersebut termasuk UU Desa Praja. Jadi, seluruh regulasi baru tata pemerintahan daerah yang didasarkan pada konsepsi demokrasi terpimpin tidak sempat diterapkan. • Peranan Baru Kepala Daerah Dengan adanya perubahan-perubahan besar di pusat, maka pemerintah daerah juga harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan asas demokrasi terpimpin. Di daerah juga harus diiptakan pemerintahan yang stabil dan efisien sehingga dapat membantu pemerintah pusat dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur. UU 1957/1 tidak mengandung asas demokrasi terpimpin dan tidak pula memungkinkan pemerintahan daerah yang stabil, karena DPD dan KD setiap waktu dapat dijatuhkan oleh DPRD. Sistem UU 1957/1 itu perlu diubah agar sejalan dengan keadaan pusat. Demikianlah pada tanggal 9 september 1959 presiden mengeluarkan PenPres 1959/6 tentang pemerintah daerah ( LN 1959/94, TLN 1843 ). Tetapi, dua bulan kemudian atas saran-saran DPA sementara Penpres ini disempurnakan dalam LN 1959/129, TLN 1896 ). Dengan dikeluarkannya PenPres 1959/6 itu,menteri DNOD Ipik Gandamana mengucapkan pidato radio untuk menjelaskan isi peraturan termaksud kepada pejabat-pejabat di daerahnya. penPres 1959/6 dimaksudkan untuk mewujudkan system pemerintahan daerah yang menjamin stabilitas dan efisiensi. Sistem ini mengandung pokok-poko pikiran sebagai berikut : a. Pimpinan dalam pemerintahan umum pusat di daerah dan pimpinan dalam bidang pemerintahan daerah diletakkan di tangan seorang kepala daerah, dengan demikian hapuslah adanya dualism dalam pemerintahan di daerah. b. Berhubung pentingnya kedudukan kepala daerah sebagai pemusatan pekerjaan, baik pada bidang pemerintah pusat, maupun pada bidang pemerintah daerah, kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dan diberik kedudukan sebagai pegawai negara. Pengangkatan tersebut dilakuakn diantara calonn-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan, calon-calon mana harus memenuhi syarat-syarat pendidikan, kecakapan, dan pengalaman dalam pemerintahan. Namun presiden menteri dalam negeri dan otonomi daerah dapat menentukan pengangkatan di luar pencalonan tersebut. c. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, dan oleh karena itu tidak dapat diberhentikan karena suatu keputusan DPRD. d. Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah : • Mengurus ketertiban dan keamanan umum di daerah • Menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah dan antara jawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah daerah. • Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah • Menjalankan lain-lain kewenangan umum yang terletak dalam bidang urusan pemerintah pusat ; 1 s/d 4 menurut perundangan yang berlaku, dan hingga kini dijalankan oleh gubernur bagi Daerah Tingkat I dan oleh Bupati/ walikota bagi Daerah Tingkat II. e. Sebagai alat pemerintah daerah kepala daerah bertindak sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, baik dibidang urusan rumah tangga daerah ( otonomi ), maupun di bidang tugas pembantuan dalam pemerintahan. f. Dalam menjalankan tugasnya dibidang urusan pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh sebuah badan pemerintah harian, anggota-anggotanya sedapat-dapatnya diangkat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD. g. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kepala daerah tidak lagi bersifat kolegial, akan tetapi sebaliknya juga tidak meningggalkan dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan. h. DPRD menjalankan kekuasaan, tugas, dan kewajiban pemerintah daerah menurut peraturan perundangan yang berlaku, selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam penetepan presiden ini. • Hubungan dengan DPRD a. Kepala daerah dan wakil kepala daerah atau anggota badan pemerintah harian yang ditunjuk olehnya senantiasa dapat menghadairi dan berbicara dalam rapat-rapat DPRD, baik yang terbuka maupun yang tertutup. b. Kepala daerah setiap waktu memberikan pertanggungan jawab atau keterangan mengenai tugas pekerjaannya di bidang otonomi dan tugas pembantuan dalam pemerintahan kepada DPRD bilaman diminta oleh DPRD atau bilaman dipandang perlu oleh Kepala Daerah. c. Kepala daerah tidak menadatangani suatu keputusan DPRD i.c juga peraturan daerah. • Hubungan dengan wakil kepala daerah a. Untuk daerah tingkat I dimana berdasarkan penetapan Presiden No 2/1960 telah diangkat seorang wakil kepala daerah, maka segala pertanggungan jawab tertinggi mengenai pemerintahan daerah tetap di tangan kepala daerah. b. Dengan tidak mengurangi hal dimaksud, kepala daerah, baik yang termasuk urusan pusat maupun yang urusan daerah dan bila perlu dapat menugaskan untuk atas namanya memberikan keterangan-keterangan atau jawaban kepada DPRD. TABEL UNDANG –UNDANG OTDA ERA EKSPERIMEN OTONOMI SELUAS-LUASNYA UU Komponen UU No 1/1945 UU No 22/1948 UU NIT No 44/1950 UU No 1/1957 Gagasan Kunci Kedaulatan rakyat daerah Sistem pemerintahan daerah yang demokratis Sama dengan UU No 22/1948 Otonomi seluas-luasnya Konteks tantangan Menampung luapan semangat kedaulatan rakyat pada awal revolusi Menunjukkan bawa system pemerintahan daerah RI lebih demokratis daripada sistem buatan belanda Akomodasi terhadap ketidakpuasan daerah-daerah luar jawa, terutama dalam bidang ekonomi dan keuangan Lembaga pemerintahan daerah Badan perwakilan rakyat, badan eksekutif, kepala daerah DPRD dan Dewan pemerintahan daerah ( DPD ) system pemerintahan daerah kolegial Sama dengan UU No 22/1948 DPRD dan DPD (sistem stetsel parlementer) Diolah dari Gie, 1968 Asaz desentralisasi sangat menonjol dalam UU No 1/1957. Kepala daerah bukan pejabat pusat. Ia senyatanya adalah lembaga eksekutif daerah dan bertanggung jawab kepada DPRD. Pemerintah pusat hadir dalam bentuk sistem pengawasan secara bertingkat. Propinsi mengawasi kabupaten, demikian pula kabupaten mengawasi desa. Inilah sebabnya mengapa undang-undang ini, satuan daerah otonom di desain secara berjenjang, yaitu daerah tingkat I (propinsi ), daerah tingkat II ( kabupaten ), dan daerah tingkat III ( desa ). KESIMPULAN Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia memang tidak semudah yang dibayangkan, mulai dari berdirinya RI tahun 1945 sampai pada masa demokrasu terpimpin. Dari penggambaran perjalanan kebijakan, isi kebijakan, dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di era tersebut sebenarnya dapat ditarik pelajaran yang sangat berharga. Bahwa dalam pembuat kebijakan otonomi daerah, kita harus selalu mengacu pada konstitusi. Seperti teori desentralisasi yang dikemukakan oleh Chemma bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah selalu saja ada tekanan politik yang terjadi. Hal itulah yang juga mewarnai proses otonomi daerah di Indonesia masa demokrasi terpimpin. Pergolakan-pergolakan di daerah menyebabkan kebijakan yang telah dibuat sulit untuk dilaksanakan. Apalagi muncul G30S/PKI yang benar-benar menghambat proses kebijakan tersebut. Dalam pembuatan kebijakan otonomi daerah, harus selalu mengacu pada konstitusi. Sehingga akan mempermudah untuk pelaksanaannya. Selain itu perubahan bentuk negara maupun system pemerintahan juga turut berperan penting, karena efeknya bisa mengahncurkan tatanan pemerintahan daerah yang sudah dibangun. Agar kebijakan otonomi daerah dapat terlaksana dengan baik, maka dalam setiap menyusun suatu RUU Pemerintahan Daerah yang baru, harus menggunakan pendekatan integral, bukan parsial. Apalagi membuat kebijakan otonomi daerah secara reaktif, melainkan holistik. Selain itu juga dibutuhkan evaluasi terhadap kebijakan otonomi daerah yang berlaku, sehingga dapat meminimalisir masalah-masalah yang akan timbul. DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichlasul, “ Regional and Central Government In Indonesia Politics”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992 Geertz, Clifford, “ Local Knowledge “, London : Fontana Press, 1983 Haris, Syamsuddin, “ Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas pemerintahan Daerah, Jakarta : AIPI, 2002 Hudoyo, Wahyu, “ Otonomi Daerah di Hindia belanda 1903-1940”, Jakarta : CV Sejahtera, 1999 Maddick, Henry, “ Democracy, Decentralization and Development”, Bombay, London, New York : asia Publshing House, 1966 Rondinelli, Dennis, “Decentralization, Territorial Power and the State : A Critical Response” dalam Development and change, London : Sage, Vol 21, 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

yihaaaa....I LOVE Jakarta :))))

yihaaaa....I LOVE Jakarta :))))

life is never flat :))

life is never flat :))